Ayah! Suaramu, Bahasaku…

Di halaman sekolahku di Lamno Aceh, aku diam sendirian mengamati teman teman bermain riang. 

“Ayo, main Cô lôlôp, yuk!” ajak Intan ke teman-teman sebayaku.
“Biar Aku yang jadi mak-nya,” timpal Nuril dengan senyum lesung di pipi.
“Cut Aminah, ayo main bersama!” suara Intan terdengar nyaring sambil
melambaikan tangannya ke arahku. Aku menyunging senyum menolak lembut
ajakannya. Badanku masih terasa lelah. Perjalanan 12 jam dari Medan ke Aceh
via darat cukup melelahkan. 

Tanpa dikomandoi, mereka berbaris sejajar ke belakang sambil berpegangan pinggang ibarat gerbong kereta api, sedangkan Nura dan Haura berdiri saling berhadapan sambil berpegangan tangan dan mengangkatnya tinggi
tinggi hingga dapat kami lalui di bawahnya. Nuril yang bertindak sebagai mak menyanyikan lagu pengiring. 

Mè-mè ukam ‘bawa-bawa pancang’
boh mamplam tuha muda ‘buah mangga tua muda’
ôn siôn campli mangat ‘sehelai daun cabe enak’
Qur’an tamat malam jula ‘Qur’an tamat di larut malam’
Cô lôlôp cô lôlôp
nyang di likôt khôp sidroe ‘yang di belakang tangkap seorang’.

Setiap kali lagu penggiring selesai dinyanyikan, seorang anak masuk perangkap. Agar adil, anak yang ditangkap bukanlah anak yang berada pada posisi terakhir, tetapi siapa pun yang tepat berada dalam gerbang ketika lagu selesai dinyanyikan. Yang paling depan disebut mak (ibu), sedangkan yang memanjang di belakangnya dinamakan aneuk (anak). Lagu penggiring terus dinyanyikan, makin banyak anak ditahan hingga tersisa mak seorang. 

Setiap anak yang ditangkap, diminta memilih berada di belakang Nura atau Haura yang bertindak sebagai gerbang. Mereka bebas memilih tetapi harus berimbang. Lakon seni indatu kita sudah mengajarkan keseimbangan, keadilan,
dan kebersamaan. Nantinya, mereka akan diadu, tarik-menarik seperti tarik tambang. Bedanya, tidak menggunakan tali tetapi hanya pergelangan tangan kedua orang yang berdiri sebagai gerbang. Permainan ini mirip permainan ular
naga yang sering dimainkan anak-anak di tanah Jawa. 

Tepat pukul 10.30, lonceng masuk berbunyi. Semua berlarian ke kelas masing-masing. Aku yang sedari tadi duduk menonton, juga angkat kaki bergerak ke kelas 6-A. Aku baru pindah ke sekolah itu semenjak ayahku yang berprofesi
sebagai tentara pindah tugas ke sana. Kedua orang tuaku senang dengan penugasan baru itu. Apalagi ayahku yang asli Aceh, ia kembali dapat bernostalgia dengan teman-temannya masa kecil dulu. Mamaku, orang Sunda. Ia sudah
terbiasa menjadi isteri prajurit, apalagi isteri perwira. Ia cepat bergaul dengan para ibu persit, termasuk ibu-ibu di lingkungan kompleks perwira tempat kami tinggal. Mamaku seorang dokter puskesmas. Ia cepat dikenal luas karena pengabdiannya bagi ibu-ibu hamil dan anak-anak. Mama sudah terbiasa merantau bersama ayah, mulai saat penugasan ayah ke Sulawesi, berpindah ke Sumbar, ke NTT hingga kembali ke Aceh, April 2024 lalu.

Sampai kelas 6 ini, aku sudah berkali-kali pindah sekolah. Pindahnya tak tanggung-tanggung: antarprovinsi. Hari ini adalah hari pertamaku. Entah mengapa, aku merasa asing setiap menginjakkan kaki di sekolah baru. Bahkan, sekarang ini di sekolah tempat masa kecil ayahku. 

Sekolah baruku ini berada di kampung pedalaman. Sengaja ayahku mengantarku ke sana agar aku dapat belajar bahasa Aceh. Aku dengar kata ayah ke nenek saat minggu pertama kami tiba. Sebagian besar anak-anak sekolah
bertutur dengan bahasa Aceh yang kental. Aku merasa risih, apalagi namaku ada embel-embel Cut, konon keturunan bangsawan Aceh, seperti Cut Nyak Dhin. Tentu beliau akan sangat murka jika tahu keturunannya tidak mampu berbahasa indatunya. Aku cemburu saat teman-teman bercengkerama berbahasa Aceh. Aku hanya tahu peu haba? ’apa kabar?’, ka pajôh bu? ‘sudah makan nasi?’. Selebihnya hanya bisa manggut-manggut. 

Untuk anak kelas 6, aku sudah mulai kritis berpikir karena memang sebagai anak keturunan Teuku, aku tidak kurang secara materi. Sejak kecil aku sudah akrab dengan buku-buku. Ke mana pun, ayahku Mayor Teuku Kamil pindah tugas, di rumah kami selalu punya pustaka keluarga. Jika pun kami pindah, buku-buku itu akan dihibahkan ke para tetangga. Lalu, di tempat tugas baru, Ayah membeli buku-buku baru yang kusukai. Aku seolah merasa bak Matara dalam buku Mata dan Rahasia Pulau Gapi, yang gagal masuk ke sekolah impiannya. Lalu, didampingi Ayah-bundanya, Matara memilih pindah ke Pulau Gapi di wilayah Timur Laut Kepulauan Indonesia. 

Waktu berlalu begitu cepat. Enam bulan di Aceh, Ayah pindah tugas ke Papua. Aku tak sempat banyak belajar bahasa Aceh, bahasa ayahku. Karena teman-teman di kelasku justru senang berbicara bahasa Indonesia denganku. Kata mereka, aku mirip orang Jakarta, seperti di tivi-tivi. Di rumah, aku tak punya waktu belajar bahasa ibu: Aceh atau Sunda. Ayah-mama sibuk dengan rutinitas mereka. Sebagai anak tunggal, aku lebih sering membaca buku untuk
menghabiskan rasa suntukku. 

Diam-diam aku belajar bahasa Aceh sendiri. Aku masih ingat judul syair Pok Pok Yé saat Ayahku mengajak ke rumah Miwa Cut Rahmah di Aceh. Saat itu, ada Makcek Keumala asyik bercengkerama dengan si Bunsu yang masih kecil.
Sesekali Makcek Keumala mengajari Bunsu bertepuk tangan sambil mendendangkan syair Pok Pok Yé. 

Pok pok yé
ma u blang du u glé
‘ibu ke sawah ayah ke gunung’
pot boh mè saboh karang ‘petik asam jawa satu tangkai’
pot boh ram saboh tangké ‘petik buah ram satu tandan’
nyang putik taprom di bak ‘yang putik biarkan di dahannya’
nyang masak tapajoh lé ‘yang masak dimakan segera’ 

Bunsu girang bukan kepalang, kedua tangganya bertepuk mengikuti ritme suara Makcek Keumala. Aku menirukan hal yang sama: kegirangan seperti anak kecil yang baru belajar senyum dan tawa. Aku juga belajar menghapal syair Do
Da Idi, syair meninabobokan anak-anak. 

Malam ini, syair itu kubisikkan di telinga ayahku yang terbaring lemah tak berdaya. Dua butir peluru bersarang dekat jantungnya. Ia tertembak saat bertugas bagi negara yang berbahasa Indonesia. Bahasa ibuku. 

Dô da ida
ta éh hai aneuk jantông haté ma ‘tidurlah sayang jantung hati ibu’
ta éh gata laju beu rijang ‘tidurlah sayang, segera tidur’
ma dôdô sayang lam ayôn ija ‘ibu dodo sayang dalam ayunan’
Dô da idi
putik giri teungoh raya ‘putik giri sedang mekar’
watè rayek neuk sinyak Putéh Di ‘jika besar kamu Ananda’
beu gèt budi bèk durhaka ‘baik budi jangan durhaka’
Dô da idô
kayôh jalô neuk lam kuala ‘kayuh sampan ke kuala’
beu gèt budhö neuk bèk teukabô ‘baiklah budi jangan takabur’
beu jroh tutô ngon ayah poma ‘baiklah tutur pada ayah-ibu’ 

Suara ayahku berbisik lemah menirukan suaraku. Air matanya menetes. Aku berujar pelan. Ayah! suaramu, bahasaku…

Penulis, yaitu Rahmat, S.Ag., M.Hum. sebelumnya adalah pegawai di Balai Bahasa Provinsi Aceh. Saat ini Beliau adalah Kepala Kantor Bahasa Kepulauan Riau.

Tinggalkan balasan!