Badut-Badut Radikal

Summary

Ada kesamaan-kesamaan menarik antara Joker, John Lennon, dan Sokrates. Mereka sama-sama muak dengan realitas sosial yang mereka hadapi. Mereka menolak tunduk pada realitas tersebut, dan dengan caranya masing-masing berusaha meraih kebahagiaan yang selalu didamba umat manusia. Mereka melakukan aksi-aksi radikal, sekalipun itu juga berarti harus menjadi badut.

Ketamakan telah meracuni jiwa manusia, membarikade dunia dengan kebencian, menggiring kita ke dalam penderitaan dan pertumpahan darah.

[Charlie Chaplin]

Kerusuhan berkecamuk di berbagai penjuru Kota Gotham. Kaum keblangsak, dengan topeng badut di wajah mereka membara karena kesulitan hidup yang kian parah, sementara para politisi (baca: golongan kaya) tidak pernah benar-benar peduli. Malah, seorang calon wali kota sempat pula mencela mereka di siaran televisi. Dalam kondisi jalanan penuh kebakaran dan kerusakan tak menentu, Joker berdiri di atas mobil polisi ringsek, menari dan dielu-elukan massa sebagai pahlawan yang telah menginspirasi aksi-aksi protes di seluruh kota.

Beberapa jam sebelumnya Joker tampil di televisi dalam sebuah gelar wicara kondang yang berujung kehebohan. Ia berterus terang kepada semua orang bahwa ialah pembunuh dalam kasus yang belakangan viral di Gotham, dan ia tak dibebani sesal sedikit pun. Ia berkata dengan emosional, “Aku membunuh orang-orang itu karena mereka mengerikan. Semua orang sangat buruk hari ini. Cukup membuat orang gila [.…] Tidak ada lagi yang beradab. Tidak ada yang berpikir bagaimana rasanya menjadi orang lain.” Kegilaan, kekacauan, ketidakberperikemanusiaan, begitulah masyarakat yang dihadapi Joker. Atas segala keburukan tersebut ia mengalamatkan kesal pada para politisi kaya yang munafik; baginya, merekalah pihak yang mestinya paling bertanggung jawab di masyarakat.

“Kau pikir pria seperti Thomas Wayne pernah berpikir bagaimana rasanya menjadi orang sepertiku? Menjadi seseorang selain mereka sendiri? Tidak! Mereka pikir kita hanya akan duduk saja seperti bocah kecil yang manis. Bahwa kita tidak akan menjadi manusia serigala dan liar.”

Adegan itu bisa segera menyeret ingatan kita pada wawancara John Lennon pada 6 Juni 1968 di televisi, dalam sebuah gelar wicara kondang juga. John sedang tenar-tenarnya, sementara seluruh dunia sedang tegang-tegangnya dihantui Perang Dingin antara blok komunis dan blok kapitalis. John berkata, “Saya pikir masyarakat kita dijalankan oleh orang-orang gila untuk tujuan yang gila. Saya pikir itulah yang saya permasalahkan ketika saya berusia enam belas dan dua belas, jauh ke depan, tapi saya mengungkapkannya secara berbeda sepanjang hidup saya.”

Dunia masih saja disibukkan oleh perang dan umat manusia terus dibayang-bayangi kengerian serupa, atau lebih buruk, ketimbang Perang Dunia II yang mentraumakan; yang telah menghancurkan begitu banyak kebahagiaan di muka bumi. Maka, John pun lanjut berkomentar dengan ironis, “… saya akan sangat senang mengetahui apa yang mereka pikir sedang mereka lakukan. Saya pikir mereka semua gila. Tapi saya bisa dianggap gila karena mengungkapkan itu. Itulah yang gila tentang itu [….] Kalian tahu, kalian sedang diatur oleh orang-orang gila, dan kalian tidak tahu.”

Lalu, John Lennon menjadi badut setahun kemudian. Di Amsterdam ia dan istri barunya Yoko Ono berbulan madu sambil melancarkan aksi protes Bed-ins for Peace. Ia sengaja mencuri perhatian dunia lewat aksi konyolnya bersantai ria di tempat tidur selama seminggu dan mengundang sejumlah wartawan untuk publisitas. Kata John, “Kami bersedia menjadi badut dunia karena kami pikir itu agak serius saat ini dan sedikit intelektual. Setidaknya itulah yang bisa kami lakukan, karena semua orang berbicara tentang perdamaian tapi tak ada yang melakukan apa pun tentang hal itu dengan cara yang damai.”

John Lennon memang memiliki kepribadian yang humoris. Itu mudah terlihat dalam sejumlah wawancara yang ia berikan, penampilannya di panggung, serta surat-surat pribadinya kepada sejumlah keluarga dan kawan. Bagaimanapun, yang menjadikannya badut bukan pembawaan humorisnya itu, melainkan mimpi-mimpinya. Ia dengan muluk memimpikan perdamaian dunia, memperjuangkannya secara damai dan eksentrik, dan akhirnya ditertawakan banyak orang. Namun, John Lennon tidak peduli dengan olok-olokan yang dilayangkan kepadanya. Malah ia dengan indah bernyanyi:

You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one

I hope someday you’ll join us, and the world will be as one

Dalam pengertian tertentu, kita bisa melihat badut sebagai sosok yang penuh nyali. Ia harus menanggung malu jika banyolannya tidak lucu, persis seperti pemimpi yang harus tahan cemooh jika impiannya ketinggian dan mungkin tampak rada-rada halu. Tidak banyak orang yang berani bermimpi. Lebih tidak banyak lagi yang berani mengutarakan mimpinya, apalagi mengajak orang lain untuk sama-sama bermimpi. John Lennon adalah satu dari sekian orang yang sangat sedikit itu. Yang berani ditertawakan karena mimpi-mimpinya untuk kebahagiaan umat manusia di dunia.

“Tujuan hidupnya adalah membawa tawa dan kegembiraan ke dunia yang dingin dan gelap ini.” Begitulah Joker diperkenalkan dalam film The Joker (2019). Badut adalah agen kebahagiaan. Begitu pula John Lennon. Ia mempromosikan perdamaian dunia dan menginginkan dunia dipenuhi oleh cinta. “Semua yang kau butuhkan adalah cinta,” katanya berkali-kali. “Cinta adalah segalanya. Tuhan adalah cinta. Kristen atau bukan.”

Tak ada yang lebih penting ketimbang kebahagiaan. Bagi John, hidup itu sendiri adalah “pekerjaan serius untuk menjadi bahagia.” Pada 1968 John bersama anggota The Beatles lainnya berangkat dari Inggris ke India untuk mencari pengalaman spiritual lewat meditasi transendental. Delapan bulan ia di sana: bermeditasi, menghadiri ceramah, berdiskusi dengan guru spiritual, dan menulis lagu. Meski ujung-ujungnya kecewa dengan si guru, John tetap terpukau oleh praktik meditasi dan menganggap pengalamannya selama di India sebagai peristiwa yang banyak mengubah hidupnya kemudian. Ia menjadi lebih religius.

“… berusaha mendekati Tuhan–Itulah artinya meditasi–mengalami Tuhan. ‘Kerajaan Surga ada di dalam batin,’ kata Yesus–dan maksud dia di dalam batin, di sanalah mantra menguasai pikiranmu …. kau tidak perlu kaya untuk melakukannya–kau tidak perlu ke India untuk melakukannya–kau hanya perlu MELAKUKANNYA,” tulis John pada kawannya, Christine pada masa-masa religius itu. Beberapa hari sebelumnya, John mengirim surat juga kepada Beth, dan berkata, “Meditasi membawa pikiran ke tingkat kesadaran semacam itu yang merupakan Kebahagiaan Mutlak (Surga) …. ketika Yesus berpuasa dll di padang pasir 40 hari 40 malam dia pastinya sedang melakukan sebentuk meditasi …. aku yakin itu masuk akal untuk seorang penganut Kristen Sejati–yang ingin kuraih dengan penuh ketulusan–itu tidak mencegahku dari mengakui Buddha–Muhammad–dan semua sosok besar dari Tuhan.”

Badut Athena

Pada 399 SM Athena digoncangkan oleh peristiwa besar yang legendaris: pengadilan Sokrates. Manusia paling bijaksana menurut Orakel Delphi itu telah difitnah memperkenalkan dewa-dewa baru dan menyesatkan banyak pemuda tanggung di seluruh kota. Ia melakukan pembelaan dengan dramatis di hadapan warga Athena. Argumennya logis, lugas, berani, dan diutarakan dengan dingin karena ia tidak sedikit pun ragu bahwa ia telah bersalah. Tapi, pengadilan tetap memutuskan lain. Ia dijatuhi hukuman mati. Ia sebenarnya bisa saja berusaha mendapatkan hukuman yang lebih ringan, atau membawa anak-anaknya yang masih kecil ke pengadilan untuk mengemis belas kasihan hakim, atau dibebaskan dengan syarat berhenti berfilsafat. Tapi, ia menolak itu semua. Ia tidak ingin memberi kesan bahwa ia mengaku bersalah karena itu akan memalukan. Maka, ia harus meminum racun untuk mempertahankan kebijaksanaannya yang tak tergoyahkan itu. Tentang mati itu sendiri ia tidak takut. Ia berkata kepada khalayak ramai, “aku akan mati dan kalian tetap hidup. Tak ada yang tahu siapa di antara kita yang akan menuju hal yang lebih baik, kecuali para dewa.”

Pengalaman menghadapi risiko mati itu bukanlah kali pertama bagi Sokrates. Semasa muda ia pernah menjadi tentara dan ikut berperang membela Athena. Berkali-kali ia menanggung risiko mati, baik dari musuh maupun dari penguasa yang menugaskannya untuk terlibat dalam kezaliman–ia selalu mengabaikan perintah-perintah keji semacam itu. Begitulah Sokrates, ia selalu bersetia pada hati nuraninya. “Aku tidak peduli dengan kematian sama sekali–jika tak terlalu kasar untuk mengatakannya–tapi seluruh perhatianku adalah untuk tidak melakukan perbuatan yang tak adil atau tak suci.”

Semua kebijaksanaan Sokrates itu tak terlepas dari suara misterius yang selalu memandu dirinya sejak kecil–begitulah pengakuannya di pengadilan. Suara itu “selalu mencegahku dari apa pun yang akan kulakukan, tapi ia tak pernah mendorongku.” Tidak bisa dipastikan apakah suara itu benar-benar nyata (didengar oleh telinga), ataukah sekadar muncul dalam hati. Karena Sokrates meyakini suara itu berkaitan dengan daimonion (sesuatu yang ilahi), orang-orang umumnya menyebut suara itu sebagai suara ilahi, yang juga sering diasosiasikan dengan hati nurani.

Leibowitz, seorang pakar Sokrates, menjelaskan bahwa daimonion itu adalah “hasrat untuk kebahagiaan total” atau “insting erotik”. Sokrates merupakan sosok yang tidak suka berpura-pura, dan ia dikenal berani mengakui ketidaktahuannya–tidak seperti kebanyakan warga Athena yang suka membual bahwa mereka mengetahui banyak hal. Meski begitu, Sokrates berani mengklaim bahwa ia ahli dalam “satu hal kecil”, yaitu cinta/eros. Penjelasan ini sangat penting untuk memahami filsafat Sokrates yang cenderung berkutat dengan persoalan etika/moral.

Meski disebutkan cuma bersifat preventif, dalam pengertian tertentu sebenarnya daimonion itu dapat dilihat memiliki daya sugestif secara tidak langsung. Misalnya, ia mencegah Sokrates untuk tidak abai terhadap kebijaksanaan–bagi Sokrates, mempelajari kebajikan dan memahami arti penting menjadi bajik merupakan kesadaran yang sangat fundamental. Sokrates berkata kepada warga Athena, “apakah kalian tidak malu karena terlalu peduli pada uang, dan reputasi, dan kehormatan, tetapi kalian tak pernah peduli ataupun memikirkan kebijaksanaan, kebenaran, dan bagaimana membenahi jiwa kalian sebaik mungkin?” Karena itu ia pun lalu menyampaikan diktum yang tajam dan fenomenal, “hidup yang tak diuji tak layak dijalani”.

Bagi Sokrates, “menguji hidup” berarti mempertanyakan pengetahuan kita tentang hidup, terutama kebajikan, dengan cara berfilsafat, terutama berpikir dialektik. Berpikir dialektik adalah usaha menggali kebenaran melalui pertanyaan-pertanyaan kritis yang masuk akal dan makin lama makin mencapai akar (radic)/prinsip dasar persoalan. Dengan kata lain, cara berpikir ini dapat juga disebut radikal: mendalam, terbuka, dan progresif. Dengan berpikir radikal, kita mendapatkan pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan tentang kebajikan.

Pengetahuan tentang kebajikan (termasuk kenapa manusia mestinya menjadi bajik) pasti menuntun manusia pada tindakan yang bajik, sehingga menjadikannya manusia yang berbudi luhur, alias bermartabat/berharga. Kebajikan inilah yang menjadikan manusia bahagia. Demikian argumen kunci Sokrates. Secara ringkas, Nietzsche merumuskan filsafat moral Sokrates dengan persamaan “akal budi = kebajikan = kebahagiaan”.

Berbudi luhur merupakan tujuan manusia dalam filsafat moral Sokrates. Kenapa? Karena pada dasarnya manusia punya naluri yang kuat untuk menjadi makhluk yang berharga. Naluri ini dapat diidentifikasi dengan mudah dalam kehidupan sehari-hari: dalam bentuk yang sejati, hal itu dapat dilihat pada kerja sungguh-sungguh orang-orang yang ingin bermanfaat bagi orang lain; dalam bentuk yang paling dangkal hal itu dapat dilihat pada slogan-slogan omong kosong yang dipamerkan orang-orang tak tahu malu demi pengakuan berharga dari orang lain.

Naluri untuk menjadi makhluk berharga otomatis mengimplikasikan dorongan untuk menghargai diri sendiri dalam diri setiap individu. Kita tahu, segala bentuk pengingkaran terhadap dorongan alamiah dalam diri sejatinya akan mengakibatkan ketidaknyamanan batin. Artinya, sejatinya manusia tak bisa berlaku sembarangan demi menjaga harga dirinya. Jika seseorang (dengan penuh kesadaran) berlaku tercela secara ugal-ugalan, ia sebenarnya sama saja tidak menganggap dirinya sebagai manusia yang berharga, dan itu memalukan. Dengan kata lain, ia tidak menghargai dirinya sendiri sebagai manusia yang berbudi. Nah, bisakah seseorang berbahagia ketika ia sendiri mengakui bahwa dirinya sendiri tidak berharga dan memalukan–bertentangan dengan naluri dan fitrah?

Memang, seseorang bisa saja berdalih untuk membenar-benarkan perbuatan tercelanya (di hadapan orang lain). Tapi, jauh di lubuk hatinya ia tak akan pernah bisa membohongi dirinya sendiri, begitulah bagi Sokrates. Jika diperhatikan dengan saksama, daimonion (suara hati) yang menuntun Sokrates itu umumnya mencegah ia dari tindakan-tindakan yang pasti mendatangkan perasaan malu jika dilakukan.

Lagi pula, bukankah kebahagiaan itu tumbuh dan bersemi di hati? Mengabaikan (suara) hati dan menjauhinya berarti sama saja dengan keluar dari taman kebahagiaan itu–“Kerajaan Surga,” kata Yesus–dan menjauhinya pula. Dengan kata lain: berada di luar jaringan kebahagiaan. Bisakah kita berbahagia ketika secara sadar meninggalkan dan jauh dari sumber kebahagiaan: hati?

Inilah yang diperjuangkan Sokrates sepanjang hidupnya. Ia berkeliling Athena dan mengajak orang-orang untuk menguji diri mereka dan mempedulikan kebajikan. Sokrates begitu mencintai warga Athena, karena itu ia ingin mereka bahagia. Sayangnya, usaha Sokrates itu justru menuai banyak olok-olok di mana-mana. Dialektika Sokrates dianggap sekadar ocehan ngibul belaka dari seorang jelata-lemah di hadapan otoritas mapan yang sangat kuat. Orang-orang tak terlalu mengacuhkannya, tapi sebenarnya diam-diam terpengaruh juga. Seperti keterangan Nietzsche: “[pada masa Sokrates hidup] kekuasaan masih dianggap bentuk yang baik, sehingga orang tidak ‘memberi penjelasan logis’ tapi memerintah. Ahli dialektika adalah sejenis badut: orang-orang menertawainya, mereka tak menganggapnya serius–Sokrates adalah badut yang membuat orang-orang menganggapnya serius”.

Sokrates memang badut yang menjengkelkan, terutama bagi mereka yang menopang banyak kepentingannya dengan berbagai macam omong kosong yang tampak cerdas. Ia adalah badut dalam arti sasaran olok-olok, tapi kita bisa juga membayangkan sebaliknya. Kata Nietzsche: “Ahli dialektika membebani lawannya dengan pembuktian bahwa ia tidak dungu: ia marah, dan saat bersamaan juga lumpuh. Ahli dialektika melemahkan kemampuan intelektual lawannya.” Sebagai jagoan dialektika, Sokrates sering menelanjangi omong kosong orang-orang sotoy yang ditemuinya di Athena. Bagi sebagian orang, ia tentu sangat menjengkelkan. Namun, nyatanya Sokrates juga punya banyak pengikut, terutama dari kalangan anak muda. Merekalah yang kelak meneruskan semangat Sokrates, hingga peradaban Barat mengalami perubahan radikal untuk seterusnya. Bisa dibayangkan, siapakah yang ditertawakan anak-anak muda itu ketika Sokrates menelanjangi kedunguan lawan-lawan dialektikanya tanpa ampun?

“Dalam humor, kita sebetulnya mempreteli koherensi dari reasoning,” kata Rocky Gerung. Dialektika memang bisa memicu kehebohan seru dalam dialog-dialog yang diadakan Sokrates di berbagai penjuru Athena. Alhasil, ia dicintai para pemuda progresif, tapi dibenci orang-orang dungu konservatif yang umumnya punya kedudukan tinggi di masyarakat. Merekalah orang-orang yang kepentingan pribadinya terganggu. Merekalah yang semula meremehkan dan mengolok-olok Sokrates sebagai badut, tapi juga terpaksa menyikapinya dengan serius kemudian. Inilah pangkal bala pemfitnahan Sokrates, yang akhirnya membuatnya dijatuhi hukuman mati pada 399 SM.

Amerika Serikat dan John Lennon

Pada awal abad ke-20 masyarakat Amerika dibuat percaya bahwa kebahagiaan hidup berasal dari kepemilikan sejumlah barang/harta benda. Televisi terus-menerus menayangkan gambaran hidup permai di rumah-rumah pribadi di pinggiran kota: ibu rumah tangga mengisi hari-hari dengan membikin kue (menggunakan perlengkapan dapur yang berbagai macam) dan bermain dengan anak-anak (dengan segenap perlengkapannya pula), sementara suaminya pergi bekerja ke kantor menggunakan mobil, mencari uang untuk kemudian dihabiskan di swalayan atau tempat-tempat liburan pada akhir pekan. Kehidupan semacam itu distereotipkan sebagai kebahagiaan yang sempurna. Masyarakat pun terjangkit wabah konsumerisme. Perangai ini menjamur setelah Amerika Serikat memenangkan Perang Dunia II. Masyarakat kelas menengah makin banyak dan secara ekonomi bertambah makmur. Mereka merupakan konsumen utama yang makin menggeliatkan mesin produksi dan pasar-pasar.

Masyarakat terlena dan berpuas diri dengan gaya hidup demikian. Televisi pun menjadi hiburan utama pada waktu-waktu bersama keluarga, sekaligus media propaganda jitu untuk melanggengkan hegemoni.

Dengan kesadaran demikian, masyarakat memandang konsumerisme sebagai penentu standar hidup dan status sosial. Konsumsi yang mencolok, misalnya penggunaan barang-barang mahal, dipandang sebagai indikasi kekayaan sekaligus kebahagiaan, sehingga sering kali orang-orang menggunakan barang-barang mahal bukan untuk memenuhi kebutuhan melainkan untuk menunjukkan status sosial, supaya menjadi anggota masyarakat yang terpandang dan (dianggap) bahagia. Singkat kata, uang menjadi ukuran utama semua nilai dalam masyarakat.

Jelas, uang tidak lagi menjadi sekadar sarana untuk merealisasikan cita-cita kemanusiaan yang luhur. Uang–persisnya kekayaan sebanyak-banyaknya–menjadi tujuan utama itu sendiri. Indikasinya terang: masyarakat mudah saja memuja (dan termotivasi dengan) orang-orang dengan harta kekayaan bak sultan–persetan bagaimana harta kekayaan itu didapat–dan bodo amat (jika tidak memandang konyol) pada orang-orang bak Sokrates yang selalu berprinsip bahwa tujuan hidup sejati adalah untuk menjadi manusia yang bijaksana.

Kaum Kiri Baru kemudian melihat gejala ini sebagai kesadaran palsu yang diakibatkan oleh “manipulasi kebutuhan demi kepentingan kapitalisme”. Kesadaran ini membuat masyarakat “mengabdi pada kepentingan industri” dan abai terhadap “nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya”.

Maka, ketika sejumlah masalah domestik, seperti diskriminasi rasial, ketimpangan sosial, ketidaksetaraan gender, dan wajib militer (untuk perang di Vietnam) makin kentara di Amerika, anak-anak muda dari keluarga kelas menengah mulai mempertanyakan ulang nilai-nilai American Way of Life yang telah biasa mereka hidupi sejak belia. Pada gilirannya, pertanyaan-pertanyaan mereka bermuara pada satu kesimpulan radikal: strategi-strategi militer Amerika yang manipulatif di luar negeri dan kebijakan-kebijakan yang diskriminatif di dalam negeri ternyata hanya bertujuan untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya, untuk segelintir orang yang sangat-sangat berkuasa.

Konsumerisme bin materialisme telah menghegemoni masyarakat (terutama kelas menengah yang rentan dininabobokkan kapitalisme) dan menutup mata mereka dari keonaran sosial yang telah diciptakan kapitalisme di Amerika. Lagi pula, nilai-nilai konsumerisme yang berdasarkan kekayaan dan status sosial nyatanya malah menggiring masyarakat kelas menengah pada kecemasan dan depresi yang lebih besar, sehingga membuat mereka kian akrab dengan frustrasi dan kekerasan dalam rumah tangga–mengorbankan kian banyak anak-anak broken home.

Kini giliran generasi muda Amerika (dengan elemen utama kaum Kiri Baru, para aktivis HAM, dan Hippies) melakukan serangan balik terhadap pemerintah yang ditunggangi oligarki, alias para kapitalis. Sebagai reaksi tak tanggung-tanggung, mereka yang umumnya kaum terpelajar “betul-betul mau menumbangkan tatanan masyarakat lama” yang telah membusuk.

John Lennon ikut tergoda untuk terlibat dalam kemelut sosial politik di Amerika. Setelah menunjukkan perhatian seriusnya pada isu-isu politik global (yang berkonsentrasi pada “imperialisme Inggris dan Amerika”) lewat lagu Revolution (1968) dan Give Peace a Chance (1969), John dan Yoko tiba di Amerika pada 1970. Dengan segera ia disibukkan oleh pergaulan dengan orang-orang radikal sayap kiri dan aktivis New York. Ia ikut meramaikan demo-demo, memproduksi semakin banyak lagu bertema masalah sosial, dan semakin dielu-elukan sebagai seniman revolusioner oleh sebuah generasi yang tengah marah.

Sikapnya yang terang-terangan melawan kemapanan, sebagaimana khas para radikalis kekiri-kirian, mau tak mau segera mendapat pantauan intens dari FBI yang memang supersibuk sejak munculnya gejolak sosial di Amerika pada dekade ‘60-an. Nama besar John yang konon “lebih populer dari Yesus” itu jelas suatu ancaman serius bagi rezim yang sedang menjadi bulan-bulanan kaum protes di seantero Amerika. Maka, pada 1972 John mendapat surat pemberitahuan deportasi dari kantor imigrasi Amerika, meski nyatanya ia masih saja bisa bertahan hingga bertahun-tahun kemudian berkat dukungan banyak seniman dan kaum cendekiawan berpengaruh.

“[P]erhatian utama kami tak pelak lagi adalah melakukan revolusi melalui seni,” kata John pada Tariq Ali, eksponen kaum Kiri Baru di Inggris tak lama sebelum ia hijrah ke negeri Paman Sam. Senada dengan sikap Kiri Baru yang fokus menyasar kesadaran masyarakat yang dihegemoni kapitalis, John juga menyadari bahwa revolusi mental ini sangat krusial artinya bagi perubahan sosial yang lebih baik. John berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menghancurkan kapitalisme adalah “dengan membuat kelas pekerja menyadari posisi sangat bangsat yang mereka alami, menghancurkan mimpi yang mengelilingi mereka. Mereka pikir mereka berada di negara yang indah dan bebas bicara. Mereka punya mobil dan televisi dan mereka tak ingin memikirkan hal lainnya untuk hidup.”

John tentu tahu bahwa beberapa tahun sebelumnya banyak aktivis pergerakan di Amerika tiba-tiba dibunuh secara kejam dan sebagian besar diliputi bayang-bayang konspirasi–Michael Schwerner (1964), Malcolm X (1965), James Reeb (1965), Viola Liuzzo (1965), Jonathan Daniels (1965), Vernon Dahmer (1966), Sammy Younge Jr. (1966), Martin Luther King Jr. (1968), Robert F. Kennedy (1968), dan Fred Hampton (1969). John sadar betul bahwa dirinya menghadapi risiko besar, tapi ia tetap saja berusaha menjadi dirinya sendiri: memperjuangkan mimpinya, sekali pun itu membuatnya sangat dibenci oleh penguasa negeri koboi itu!

John Lennon akhirnya memang tewas kena tembak pada 8 Desember 1980. Pembunuhnya seorang pemuda yang mengaku sebagai fansnya sendiri, Mark David Chapman. Itu tindakan yang sangat aneh, sehingga mengundang banyak desas-desus di kalangan pencinta teori konspirasi. Sebagian pihak menduga bahwa Mark hanyalah boneka CIA yang telah mengalami pencucian otak sedemikian canggih, dan itu berarti pembunuhan John memiliki motif yang politis. Bagaimanapun, hingga kini semuanya tetap saja menjadi misteri.

Rezim Epithumia

Bicara tentang kapitalisme selalu membawa kita pada sejumlah kekaburan sebab bermacam konsep telah dilekatkan padanya dari masa ke masa. Dalam konteks tulisan ini, biar lebih jelas, maka pengertian kapitalisme perlu dibatasi pada kasus Amerika pada masa-masa Perang Dingin.

Dalam kasus Amerika masa itu, kapitalisme telah menjelma imperialisme sebagai tahapan puncaknya yang mengerikan. Perusahaan-perusahaan swasta dalam negeri bersatu menjadi kartel/korporasi-korporasi, lalu berkembang lagi menjadi konglomerat-konglomerat yang menguasai banyak sektor dan memonopoli pasar nasional tanpa ampun. Di sisi lain, kapital bank-bank juga mengalami konsentrasi sebagai kapital raksasa dari semua kapital. Kapital raksasa itu lalu bergabung dengan konglomerat-konglomerat tadi, menciptakan banjir kapital yang mendorong ekspor kapital ke negara-negara lain (terutama negara-negara terbelakang/berkembang) dalam bentuk investasi, pemberian kredit, surat obligasi, dan berbagai operasi finansial lainnya. Kompleksitas inilah yang pada gilirannya menciptakan benturan kepentingan dari sejumlah kapital asing di negara-negara tersebut, bahkan tak jarang pula berbuntut menjadi agresi militer dan perang. Skema ini saja sudah cukup buruk bagi kesejahteraan hidup manusia. Dan semuanya menjadi jauh lebih buruk lagi ketika konsekuensi kapitalisme semacam ini dilihat dari pengaruh intervensinya di bidang politik.

Karl Marx telah menggariskan kerangka klasik masyarakat: struktur bawah, alias tatanan ekonomi, akan serta merta menentukan/mempengaruhi struktur atas, yakni tatanan institusional (negara, sistem hukum, sistem pendidikan) dan tatanan kesadaran kolektif (nilai-nilai dan sistem kepercayaan). Dalam buku Pemikiran Karl Marx, Magnis-Suseno menjelaskan, “Yang menguasai bidang ekonomi, pada umumnya para pemilik [kapitalis], juga menguasai negara, sehingga kekuasaan negara selalu mendukung kepentingan mereka. Begitu pula kepercayaan-kepercayaan dan sistem-sistem nilai berfungsi memberi legitimasi kepada kekuasaan kelas-kelas atas.”

Jadi, kapitalis-kapitalis yang telah menjadi superkaya dan berhasil memonopoli pasar dengan kekuatan kapitalnya yang terus membesar, otomatis punya pengaruh luar biasa besar terhadap perekonomian suatu negara, bahkan sejumlah negara, sehingga kedudukannya di hadapan pemerintah menjadi sangat krusial. Pada titik ini, pemerintah tersandera sebagai alat bagi mereka untuk terus menyukseskan kepentingan-kepentingan mereka di sebanyak mungkin negara demi satu prinsip dasar yang abadi: eksploitasi.

Pemerintah yang tidak lagi berdaulat dan mengambil kebijakan tanpa bisa mengganggu kepentingan para oligark yang selamanya ingin menguntungkan kelompok kecil mereka, tentu tidak akan bisa menjadi andalan kaum keblangsak untuk menghadirkan kehidupan sosial yang adil dan makmur. Persis di sinilah titik getirnya.

Meski begitu, masalah ini bukanlah masalah baru di muka bumi. Lebih dari dua milenium lalu Sokrates sudah memikirkan sejumlah persoalan bernegara, mulai dari yang ia anggap ideal hingga yang paling kacau, dan pemikiran tersebut tersimpan dalam buku Republik yang ditulis Plato.

Sokrates membayangkan konsep negara sejajar dengan konsep jiwa manusia. Pada masing-masingnya terdapat tiga kelas. Pada jiwa ada akal (di kepala), kehendak (di dada), dan nafsu (di perut). Pada negara ada pemimpin (filsuf = akal), pelengkap (tentara = kehendak), dan pekerja (pedagang = nafsu). Sifat ideal akal dan filsuf adalah kebijaksanaan; kehendak dan tentara adalah keberanian; nafsu dan pedagang adalah kesederhanaan, dan itu semua tercapai jika jiwa dipimpin oleh akal dan negara dipimpin oleh filsuf. Inilah prinsip manusia adil dan negara adil bagi Sokrates. Sebaliknya, jika jiwa dipimpin oleh kehendak atau nafsu, maka akal akan dimanfaatkan dan diarahkan untuk mewujudkan kemarahan atau ketamakan; begitu pula dalam negara. Kepemimpinan tentara menciptakan negara timokrasi, sementara kepemimpinan kaum pedagang (kapitalis) menciptakan negara oligarki dan demokrasi. Dua model terakhir ini disebut juga rezim epithumia.

Epithumia adalah sebutan/simbol bagi nafsu pada jiwa manusia. Dalam pengertian yang lebih khusus, epithumia adalah dorongan akan uang. Ia digambarkan sebagai binatang buas berkepala banyak. Setiap kali satu kepalanya dipotong, maka akan tumbuh dua atau lebih banyak kepala lagi, dan seterusnya. Epithumia yang tidak dijinakkan, dan malah menjadi penguasa, otomatis akan membawa bahaya yang luar biasa bagi keseluruhan organisasi. Keganasan inilah yang menjadi roh bagi rezim yang dipimpin oleh kaum pedagang dalam model oligarki dan demokrasi.

Oligarki sudah jelas terang-terangan menaruh segelintir orang kaya sebagai pemimpin negara. Dengan telak, ia adalah rezim uang. Tapi, bagaimana dengan demokrasi? Demokrasi zaman Sokrates dan demokrasi modern memang tidak sama, tapi sifat-sifat dasarnya tak terlalu beda, dan bahkan yang belakangan punya implikasi lebih buruk. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dengan dasar kesetaraan hak setiap warga negara di hadapan hukum, termasuk kebebasan berpolitik. Meski seolah memberi ruang berkuasa bagi rakyat (jelata), demokrasi sebenarnya adalah wadah sangat mantap bagi kaum kapitalis untuk terus memperbesar kapital mereka. Dalam negara demokrasi yang ketimpangan sosialnya sangat hebat, kekuasaan (resmi atau tidak) akan mudah dikendalikan oleh segelintir rakyat yang punya kekayaan jauh lebih banyak ketimbang kebanyakan rakyat lainnya (yang jelata). Semua orang memang punya hak yang setara dalam berpolitik, tapi kekuatan mereka yang menguasai kapital jelas jauh tidak setara dengan mereka yang kere dan, sialnya, sangat dependen secara ekonomi.

Jadi, dalam negara demokrasi, kecenderungan untuk jatuh pada model oligarki (tak resmi) selalu besar dan sama-sama berbahaya. Pada dasarnya baik oligarki maupun demokrasi bisa sama-sama tergolong sebagai rezim epithumia. Dua-duanya dibenci Sokrates karena sama-sama rentan menjauhkan masyarakat dari keadilan. Sokrates yakin bahwa keserakahan pada uang selalu sejajar dengan ketidakpedulian pada nilai-nilai kemanusiaan.

Dan setiap kali nilai-nilai kemanusiaan pudar atau lenyap dari kehidupan banyak orang, maka nerakalah yang hadir di masyarakat, lengkap dengan “serigala” dan setan-setan sakit jiwa seperti Joker.

Mitos Sisifus

Dalam peradaban Yunani Kuno dikenal mitos ganjil tentang Sisifus yang dikutuk dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung. Ia tahu bahwa batu itu akan menggelinding kembali ke bawah, sehingga ia akan turun untuk mendorong kembali batu itu ke puncak gunung–lalu proses yang sama berulang terus-menerus tiada habis. Albert Camus menggunakan mitos ini untuk menjelaskan kehidupan manusia yang absurd.

Manusia setengah mati berbaku-hantam menghalalkan segala cara untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, berpindah dari satu kenikmatan sesaat ke kenikmatan sesaat lainnya, lalu mati tanpa membawa sepeser pun ke dalam kubur. Keinginan tiada habisnya, sementara kemampuan begitu nyata sangat terbatas. Orang-orang putus asa: jika hidup hanya (atau terutama) sebatas urusan materi semata, bukankah ia akhirnya jadi tak bermakna? Untuk apa itu semua? Absurd.

Di sisi lain, kita tahu bahwa yang ideal tak pernah tercapai, tapi kita selalu dianjurkan untuk menggapainya. Kita tahu bahwa perbuatan dosa itu terlarang, tapi kita juga tahu bahwa manusia adalah tempatnya salah. Sokrates tahu bahwa manusia tidak pernah bisa sampai pada kebijaksanaan sejati, tapi sepanjang hidupnya ia terus berusaha berjalan ke arah sana, selangkah demi selangkah–semakin mendekatinya (dengan penuh gairah). Kita tak bisa menyentuh puncak langit (adakah puncak langit?)–kemungkinan terindah hanyalah jatuh di antara bintang-bintang.

Kaum Kiri Baru yang radikal itu, sebagaimana John Lennon yang mengajak orang-orang membayangkan tatanan dunia baru dalam lagunya Imagine, sejatinya membayangkan situasi sosial yang ideal, dan memperjuangkannya dengan segenap semangat revolusioner. Kenyataannya, di Amerika kapitalisme hingga hari ini tetap hidup dan makin ganteng. Perang nuklir memang berhasil dicegah (untuk sementara), tapi ancamannya tetap ada dan makin menghawatirkan. Ketimpangan sosial pun tetap ada dan makin curam.

Cita-cita utopis Karl Marx, dewa kaum kiri yang sangat inspiratif itu, tak pernah terwujud. Sesuatu yang terlalu indah dan ideal memang tak pernah ada di muka bumi, sekali pun selalu ada orang-orang yang dilahirkan untuk memikirkannya dan memperjuangkannya (hingga mati).

Kita sering mengagumi orang-orang idealis, tapi di lain waktu juga mudah tergoda untuk menertawakan kegagalannya. Kita mengagumi prinsip-prinsip yang ia pegang teguh, dan kita (diam-diam) menertawakan kenyataan-kenyataan ironis yang ia hadapi. (Mungkin itulah cara kita menghibur diri akibat tidak mampu mengambil sikap/pendirian yang seharusnya.)

Pada titik ini, hidup kadang tampak lucu. “Tertawa, dalam tiap kasus, hanyalah letupan yang muncul akibat ketidaksesuaian antara bayangan dan kenyataan yang dilalui,” kata Schopenhauer. Tunggu, bukankah kekecewaan juga berasal dari ketidaksesuaian antara bayangan/harapan dan kenyataan? Nah!

“Kukira hidupku tragedi,” kata Joker, “tapi kini aku sadar, ia komedi sialan.”

REFERENSI

Lennon, John. 1968. John Lennon Interview: Release 6/6/1968. Beatlesinterviews.Org. Diakses dari http://www.beatlesinterviews.org/db1968.0606.beatles.html

Lennon, John. 1969. John Lennon & Yoko Ono Interview: Apple Offices, London 5/8/1969. Beatlesinterviews.Org. Diakses dari http://www.beatlesinterviews.org/db1969.0508.beatles.html

Lennon, John. 1969. John Lennon & Yoko Ono Interview: Bagism Conference 3/31/1969. Beatlesinterviews.Org. Diakses dari http://www.beatlesinterviews.org/db1969.0331.beatles.html

Lennon, Yoko Ono. 2012. Surat-Surat John Lennon. Diterjemahkan Adi Toha dari The John Lennon Letters. Jakarta: Pustaka Alvabet.

Morton, Ella. 2014. The Story of the John Lennon Statue in Havana, Cuba. Slate.Com. Diakses dari http://www.slate.com/blogs/atlas_obscura/2014/01/10/the_story_of_the_john_lennon_statue_in_havana_cuba.html

Magnis-Suseno, Franz. 2019. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia.

Nietzche, Friedrich. 1997. Twilight of the Idols, or, How to Philosophize with the Hammer. Diterjemahkan Richard Polt dari Gotzendammerung. Indianapolis/Cambridge: Hackett Publishing Company.

Plato. 2019. Apologia Socrates. Diterjemahkan Atollah Renanda Yafi dari Plato’s Apology of Socrates dan komentar David Leibowitz, The Ironic Defense of Socrates: Plato’s Apology. Yogyakarta: Basabasi.

Tinggalkan balasan!