Oleh :
Muzalna Rafli dan Bilqis Rizki Ilahi
Duta Bahasa Provinsi Aceh 2025
“Anak-anak Indonesia mahir mengeja kata demi kata. Namun membisu ketika diminta menjelaskan kembali rangkaian kata nya. Bukankah ini paradoks literasi yang ironi?”
Di sebuah tempat pendidikan dan perlindungan anak, seorang pengasuh meminta anak asuhannya membaca sebuah buku cerita anak dengan judul “Sie Reuboh”, buku ini berisi tentang bagaimana cara membuat makanan khas daerah Aceh. Anak itu membaca dengan suara lantang, kata demi kata, kalimat demi kalimat, seolah-olah tidak ada yang salah. Namun ketika giliran sang pangasuh bertanya, “coba kamu jelaskan isi dari buku cerita yang kamu baca tadi?”, anak itu terdiam, bingung, gelisah, seolah kata-kata yang barusan ia baca dari buku cerita tersebut memang tidak benar-benar singgah di pikirannya. Hal ini bukanlah suatu kejadian yang tidak terduga, namun kejadian ini sering kita jumpai di berbagai tempat pendidikan, sekolah, dan tempat belajar lainnya yang ada di Indonesia. Banyak anak kita mampu dalam sekadar membaca, tetapi mereka tidak memahami isi bacaan yang mereka baca. Kondisi ini menjadi kekhawatiran besar bagi kita semua.
Sunyi pemahaman bacaan ini ibarat lubang hitam yang semakin melebar di tengah generasi muda. Anak-anak kita berjalan dalam hutan kata, namun tidak pernah melihat pepohonan makna yang tumbuh di antara danau pengetahuannya. Padahal, pemahaman bacaan adalah pintu menuju kecerdasan yang lebih luas, kunci untuk berpikir kritis, dan jembatan untuk menembus dunia ilmu pengetahuan. Tanpa pemahaman, membaca menjadi sekadar rangkaian huruf yang dilihat oleh mata dan diucapkan oleh lidah, ibarat menyalakan lampu yang tak memancarkan cahaya.
Kondisi ini tidak bisa terlepas dari perkembangan zaman. Pengaruh dunia digital yang kini menguasai perhatian anak-anak dengan memberikan informasi instan, singkat, dan visual. Mereka terbiasa menonton video berdurasi beberapa detik, mengikuti tren joget TikTok, menonton konten lucu, atau mendengarkan musik berulang kali tanpa adanya makna mendalam. Sehingga perlahan-lahan budaya membaca yang memerlukan kesabaran dan refleksi tergeser. Buku cerita rakyat yang mempunyai banyak nilai mulai ditinggalkan, sementara layar gawai menjadi teman dekat yang paling akrab. Maka tidak bisa kita pungkiri jika kemampuan memahami bacaan semakin berkurang, karena kebiasaan menghayati teks digantikan dengan sekadar melihat sekilas.
Namun, kita bisa menemukan lentera di balik kegelapan itu. lentera itu adalah bahasa Indonesia. Bahasa yang biasa kita gunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang kita ketahui. Bahasa Indonesia tidak hanya sarana dalam menyampaikan pesan, melainkan instrumen untuk berpikir, membentuk logika, dan menyatukan perbedaan. Bahasa dapat membentuk ilmu, budaya, dan identitas. Maka, ketika pemahaman bacaan siswa masih terpuruk, bahasa Indonesia dapat menjadi penerang yang menuntun jalan keluar.
Bahasa Indonesia yang berdaulat memberi kesempatan kepada generasi muda untuk belajar dengan terang. Siswa dapat dilatih untuk tidak hanya membaca, tetapi juga memahami makna yang terkandung melalui tata bahasa yang teratur, kosakata yang kaya, dan gaya tutur yang indah. Bahasa Indonesia mampu menjadi ruang berlatih untuk berpikir kritis, menulis dengan baik, dan menyampaikan ide atau gagasan dengan jelas dan mudah dipahami. Inilah yang menjadikan bahasa dengan mutu Pendidikan saling berkaitan erat. Tanpa bahasa yang kuat, pendidikan akan menjadi rapuh dan tanpa pendidikan yang bermutu, bahasa akan kehilangan martabatnya.
Untuk mengatasi fenomena kurangnya pemahaman bacaan tersebut, strategi atau pendekatan yang tidak hanya melibatkan aspek kognitif akan tetapi juga aspek emosional, dan kultural harus digunakan. Anak-anak tidak hanya diajarkan bagaimana cara membaca, melainkan juga harus diajak merasakan keindahan bahasa. Mereka perlu diajarkan melalui sentuhan cerita, lagu, dan pengalaman yang mejadikan kata-kata hidup dalam imajinasi mereka. Bahasa Indonesia sebagai lentera tidak boleh berdiri sendiri, tetapi harus berakar pada budaya dan berkembang lebih luas bersama kreativitas.
Dalam problematika diatas, untuk mewujudkan 8 Asta Cita, salah satunya Asta Cita ke-4 yaitu, “pengembangan sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pendidikan”. Resolusi dan implikasi yang kami tawarkan untuk ini, selaras dengan program prioritas Badan Bahasa dan Mendikdasmen. Sesuai dengan Krida kami yaitu Swara Kata tentang 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, salah satunya adalah gemar membaca. Melalui Krida yang telah di kemas dalam bentuk lagu kami harap anak-anak tidak hanya mampu untuk memahami, namun juga untuk mengaplikasikannya. Sama seperti Badan Bahasa dalam upaya merealisasikan Asta Cita tersebut, banyak menciptakan sarana dan aplikasi penunjang literasi seperti BuDi – Buku Digital. Disisi lain, Kemendikdasmen melalui program literasi, seperti gerakan membaca 15 menit sebelum belajar dan membiasakan untuk story telling dari apa yang sudah di tuang membuat literasi ini lebih reflektif dan mewujudkan Asta Cita ini.
Asta Cita ke-4 ini lahir sebagai jawaban atas paradoks literasi yang hadir. Karena anak-anak tidak cukup untuk mengeja kata, namun juga mampu menafsirkan makna. Dalam menunjang literasi bagi anak, terdapat 4 resolusi yang kami tawarkan dalam meningkatkan pemahaman literasi berbahasa Indonesia:
1. Alih wahana literasi bacaan menjadi sebuah lagu
Sebelum menerapkan dan mereka bernyanyi, terlebih dahulu anak akan membaca lewat instruksi dari kakak-kakak Duta Bahasa Provinsi Aceh atau ibu panti ini akan menjadi stimulus sendiri dalam menangkap 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yaitu gemar membaca. Bagi anak usia dini wahana ini dunianya mereka, lagi dapat menjadi stimulus emosional dan stimulus kognitif agar anak lebih memahami isi bacaan. Alasan mengapa dengan adanya literasi Swara Kata ini dapat meningkatkan pemahaman literasi bahasa Indonesia, karena dengan lirik makna yang ada dalam lagu dapat di internalisasi serta retensi ( daya ingat ) lebih cepat karena melodi lebih mudah diserap dan mudah untuk diingat.
2. Integrasi media digital dengan literasi bahasa Indonesia
Di era jari-jemari anak lebih piawai dengan gawai daripada membolak-balikkan lembaran buku. Digital tak seharusnya menutup mata, alih-alih memandang dunia digital sebagai lawan, mengapa tidak menjadikannya sebagai sekutu? Dalam inovasi Badan Bahasa salah satu produk digital nya yaitu BuDi – Buku Digital. Menjadi alternatif utama untuk menjawab paradoks yang ada. Ketika huruf-huruf berbasis layar gawai wajah baru untuk dunia literasi semakin berkembang luas. Melalui IPTEK ini membaca bukan lagi sebatas aktivitas sunyi dibalik sunyi meja belajar melainkan lentera yang lebih interaktif ketika di sajikan dengan gawai yang sifatnya kondisional bisa kapanpun dan dimanapun. Gawai yang semula alat hiburan kini menjadi medium intelektual.
Dari alternatif yang ada sama halnya seperti Badan Bahasa dengan program nya yaitu Geulis ( Gerakan Untuk Literasi Semesta ) yang melibatkan 3 ranah pendidikan : keluarga, sekolah dan masyarakat. Dengan ini semua elemen mampu mengintegrasikan muara gerakan untuk literasi. Menjawab sunyi pemahaman bacaan terhadap siswa dalam artikel ini kami menginisiasikan program Suluh ( Suara Literasi Untuk Harapan ). Alasan dibalik muncul kata ini, suloh sendiri dalam bahasa Aceh artinya penerang sebuah simbol yang sejalan dengan ruh utama literasi. Sama halnya judul artikel ini yaitu menjadi lentera bukan hanya untuk menyalakan pengetahuan, melainkan dengan suloh tersebut anak-anak mampu menerangkan kembali apa yang sudah di bacanya, laksana obor menuntun generasi muda keluar dari gelapnya keterbatasan membaca menuju terang pemahaman.
berikut Flowchart atau bagan alir cara aplikasi program ini:
1. Pemantik, disini guru dan fasilitator yang akan memilih bacaan yang sesuai untuk anak. Ibarat memantik suloh harus ada arus yang di pantik agar suloh/lentera tersebut hidup. Visualisasi anak lebih kuat dengan gambar ini dapat menjadi satu cara untuk di terapkan. Banyak buku yang tersedia seperti di perpustakaan, balai dan pojok baca lainnya.
2. Penyulut, siswa di ajak untuk berdiskusi dan menyuluti bacaan yang sudah dibaca seperti teknik “anotasi” dengan menandai bagian penting yang telah dibaca, dengan ini anak lebih mudah merekam kata yang sudah didapatkan.
3. Pancaran, alih-alih hanya membaca dalam diam, anak-anak diajak untuk menceritakan kembali isi bacaan dengan cara mereka sendiri bisa lewat cerita sederhana, tulisan singkat, atau bahkan coretan gambar penuh imajinasi. Inilah saat ketika suloh benar-benar menyala; pengetahuan tidak lagi terkurung di kepala, melainkan memancar keluar, menerangi teman-temannya, guru, dan lingkungannya.
4. Terang Balasan, di akhiri dengan implementasi dari penerapan yang sudah dilakukan, agar menjadi obor suluh yang tetap menyala, perlu adanya konsistensi dengan membangun kebiasaan membaca. 7 KAIH yaitu gemar membaca dapat menjadi proyek kecil dan dapat juga melalui asessmen formatif dengan menanyakan pertanyaan narasi dari apa yang mereka baca agar kemampun analisis kognitif ikut memainkan perannya bagi anak-anak untuk tetap melek terhadap literasi.
Potret kehidupan telah banyak kita jumpai tentang literasi ini, anak-anak bisa dengan mudah membaca dan menangkap pesan namun sukar ketika di tanya kembali. Jawabannya adalah anak-anak sekarang sebagai konsumen serba instan. Mereka terbiasa mengonsumsi informasi singkat melalui media sosial, tetapi tidak terlatih untuk membaca mendalam yang membutuhkan kesabaran dan refleksi. Secara empiris, berbagai penelitian juga menemukan bahwa mayoritas siswa di Indonesia hanya mampu melakukan reading aloud (membaca keras) tanpa disertai reading comprehension (memahami isi bacaan).
Upaya Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa lewat tiga program prioritasnya bukan sekadar jargon di atas kertas, tetapi benar-benar menjadi langkah penting untuk menjawab tantangan rendahnya literasi yang terlihat dari berbagai survei. Bahasa Indonesia bisa kita letakkan bukan hanya sebagai bahasa sehari-hari, melainkan sebagai jembatan berpikir yang menuntun anak-anak memahami makna, menafsirkan pesan, hingga mengkritisi informasi yang mereka baca. Jika hal ini dijalankan dengan konsisten, perlahan indeks literasi bangsa dapat terangkat, dan generasi muda Indonesia akan tumbuh lebih percaya diri, siap bersaing, serta mampu menyumbangkan gagasan di kancah global.
Pada akhirnya, krisis literasi bukan hanya soal lemahnya kemampuan membaca, melainkan terputusnya hubungan antara kata dan makna. Di sinilah Bahasa Indonesia berperan strategis sebagai medium epistemik yang tidak hanya memfasilitasi proses komunikasi, tetapi juga mengonstruksi cara berpikir kritis, reflektif, dan analitis. Diharap anak-anak mampu mengontruksi kata demi kata agar literasi di Indonesia makin baik tiap tahunnya. Terutama dalam mewujudkan Asta Cita yang ke-4 yaitu memperkuat pembangunan sumber daya manusia dan pendidikan.
Really appreciate your vision