Author: Rahmat

  • Jas Bekas

    Jas Bekas

    Dari tampilannya saja sudah kelihatan; warna kusam, model ketinggalan. Apalagi kancingnya, warna emasnya sedikit karatan; bahkan, ada sobekan jahitan di kerah belakang. Tapi, sudah kujahit sehingga agak erat dan tentu tak lagi kelihatan.

    Jas berkelas, aku menyebutnya, mengapa?
    Alasan utama adalah sesuatu yang baru itu belum tentu semuanya berkelas; analogi ini kubalik saja, sesuatu yang lama pun belum tentu tidak berkelas; sehingga kusimpulkan: Jas bekas tidak selamanya tidak berkelas.

    man in formal suit jacket holding his necktie
    Ilustrasi jas oleh The Lazy Artist Gallery di Pexels.com

    Bagiku ia seolah hidup; bernyawa, bercerita, berbicara.
    Tentang bagaimana ia dulu dibeli dan dibawa dari tanah Makkah; tanah suci, lebih dari 20 tahun lalu. Ini alasan kedua tentang keberkelasannya.
    Saat ayahku, allahumma yarham, membawanya pulang dengan cara yang unik; memakainya hingga berlapis-lapis; empat. Satu untuknya, tiga untuk kami.

    Kuyakin, ada doa tersemat di balik jas bekas itu; doa di Raudhah dan di tempat-tempat makbul lainnya. Barangkali Ayahku berkeyakinan suatu saat jas ini akan dipakai oleh seorang pejabat; terserah siapa saja dari anaknya.

    Jas bekas itu bercerita lagi.
    “Jas yang kamu pakai ini adalah lapisan keempat, ayahmu tampak berisi,” aku tidak sekadar mendengar saja celotehnya. Kuberkomitmen memakainya.

    Karena itu, saat sidang magisterku, ia menoleh padaku seolah mengiba agar aku memakainya, bukan untuk penampilan tapi untuk penghormatan.
    Aku tersenyum melihat tingkahnya…
    “Jangan khawatir! Siapa sih yang lupa dengan keberkahanmu?”
    Ada doa di sakumu, ada harapan, impian, dan selaksa izah… Itu 10 tahun yang lalu.

    Hari ini, 18 Mei 2022
    Aku tetap menoleh padanya…padahal warnanya telah semakin tua apalagi modelnya…

    Ketika Tuhan mendengar doa, tentu semestinya tidak perlu diulang-ulang berkali-kali. Bukankah Tuhan tidak buta dan tuli atau bahkan lupa?

    Tuhan akan menjawab saat yang tepat untuk kita, kurasa hari inilah saat itu. Doa di balik jas bekas itu termaktub sudah dalam garis takdir-Nya.

    Jas bekas!
    Doakan aku amanah, tawadhu, tetap zuhud hingga aku menyandang nama yang sama; bekas manusia karena pasti akan fana jua.

    Jas bekas yang membekas; di jantung dan di nadiku, selamanya.
    Insya Allah, Kantor Bahasa Kepri, 2 Juni 2022

  • Diseminasi Hasil Kajian Tematik dan NSPK Layanan Bahasa dan Hukum Tahun 2021

    Diseminasi Hasil Kajian Tematik dan NSPK Layanan Bahasa dan Hukum Tahun 2021

    Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbudristek bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Aceh menggelar Diseminasi Hasil Kajian Tematik dan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) Layanan Bahasa dan Hukum. Kegiatan yang diikuti 100 peserta dari kalangan penegak hukum, akademisi, praktisi hukum, mahasiswa, dan kelompok masyarakat lainnya tersebut dilaksanakan di Hotel Hermes Palace Banda Aceh pada Senin (20/12/2021).

    Koordinator kegiatan, Rahmat, S.Ag., M.Hum., didampingi Koordinator KKLP (Kelompok Kepakaran dan Layanan Profesional) Bahasa dan Hukum Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Saefu Zaman, S.Pd., M.Hum., menyatakan bahwa kegiatan diseminasi itu diadakan sebagai upaya untuk menyebarluaskan hasil kajian tematik yang dilakukan oleh para peneliti dari KKLP Bahasa dan Hukum. Ketujuh kajian yang dipaparkan pada diseminasi tersebut adalah:

    1. Kajian Dialektika Media Sosial Berdampak Hukum di Indonesia
    2. Kajian Prosedur Penyidikan Perkara Bahasa Hukum Pidana
    3. Kajian Kebinekaan Masyarakat Multilingual
    4. Kajian Kebutuhan Pangkalan Data Forensik Kebahasaan
    5. Kajian Tingkat Pemahaman Penegak Hukum dan Masyarakat terhadap Pasal Ujaran Kebencian
    6. Kajian Evaluasi Kepuasaan Penerima Layanan Ahli Bahasa dalam Ranah Hukum dari Badan Bahasa dan Balai/Kantor Bahasa
    7. Kajian Analisis Kebutuhan Layanan Kebahasaan Ranah Hukum di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

    Kegiatan diseminasi hasil kajian tematik bahasa dan hukum itu diawali dengan pemaparan dua makalah inti oleh Kasubbid Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Aceh, AKBP Afrizal, S.E., M.Si., dan Dosen Filsafat Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry, Dr. Ali Abu Bakar, M.Ag.

    Sementara itu, kepala Balai Bahasa Provinsi Aceh, Karyono, S.Pd., M.Hum., pada saat pembukaan kegiatan mengatakan bahwa kasus-kasus hukum yang bersinggungan dengan bahasa dari hari ke hari terus meningkat. Tercatat sejak tahun 2018, sudah lebih dari seratus kasus kebahasaan yang dilayani oleh para ahli bahasa ranah hukum Balai Bahasa Provinsi Aceh. Untuk tahun ini hingga minggu pertama Desember 2021, sudah 71 kasus pidana kebahasaan yang ditangani, terutama berkenaan dengan kasus-kasus ITE, seperti pencemaran nama baik, penghinaan, ujaran kebencian, dan fitnah.

    “Edukasi tentang internet sehat harus terus digaungkan agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital berbasis jaringan untuk hal-hal positif, pengembangan diri, dan yang terpenting agar terhindar dari perkara-perkara pidana yang dapat menjerat mereka hanya gegara postingan di media sosial,” tutup Karyono.

  • Jerat UU ITE dan Keadilan Restoratif dalam Tindak Pidana Kebahasaan

    Jerat UU ITE dan Keadilan Restoratif dalam Tindak Pidana Kebahasaan

    Ilustrasi media sosial
    Ilustrasi media sosial


    Akhir-akhir ini dunia medsos dihiasi dengan beragam postingan dan komentar yang “mengkhawatirkan” peradaban sosial kemasyarakatan kita. Beragam isi medsos itu berisi tuturan atau informasi yang tidak sehat, tidak mencerminkan tuntunan peradaban dan selayaknya tidak pantas mengisi ruang publik informasi teknologi elektronik kita.


    Celaan, makian, hasutan hingga fitnah seolah hadir kapan saja. Lalu, ajang saling lapor, saling klaim kebenaran menjadi hal biasa yang eskalasinya terus meningkat dan tentu menjadi tontonan yang tak berkelas. Sejuta pertanyaan selayaknya patut digaungkan. Ada apa gerangan? Mengapa netizen kita begitu gampang mengumpat, mencela, hingga memfitnah orang lain? Tidakkah mereka tahu jika membicarakan aib saudaranya meskipun itu benar (gibah) merupakan hal yang dilarang, apalagi jika yang disampaikan itu tidak berbasis bukti dan data (fitnah)?


    Hal-hal ideal berubah jungkir balik. Konsep sosial yang bermartabat tergerus habis. Tampaknya akhlak masyarakat kita telah begitu memudar, atau jangan-jangan justru telah hilang? Yang tua tidak dapat menjadi anutan bagi yang muda, atasan seakan menjadi mimpi buruk bagi bawahan. Tidak ada keteladanan.


    Sebenarnya apa yang semestinya harus diperbaiki untuk mewujudkan ruang informasi elektronik kita yang sehat dan bertanggung jawab? Tentu banyak hal yang mesti diwujudkan. Pertama, pemerintah melalui lintas lembaga terkait harus menjamin rasa aman, adil, dan kepastian hukum bagi penikmat teknologi informasi, baik pengguna maupun penyelenggaranya. Artinya, kehadiran UU ITE tetap diperlukan. Yang mesti dilakukan adalah mengawal implementasinya agar berjalan sebagaimana mestinya. Yang kurang baik, didorong agar menjadi lebih baik. Hadirnya SKB tiga menteri terkait revisi UU ITE pada pertengahan 2021 silam patut diapresiasi sembari menanti revisi menyeluruh terkait substansi pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir.


    Kedua, pengguna medsos; kita semua, harus menyadari bahwa kebebasan berpendapat atau berekspresi dibatasi oleh hak dan kebebasan orang lain. Menghormati mitra tutur kita harus diutamakan demi terwujudnya rasa keadilan, pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat. Jangan lupa setiap postingan kita tidak bebas makna. Memang, secara kasat mata orang akan memaknainya dengan indera pemaknaan mereka masing-masing. Namun, pada dasarnya kata-kata berdimensi positif pasti mengundang simpati mitra tutur, sebaliknya kata-kata berdimensi negatif tentu menyasar antipati mereka.


    Sebagai orang beragama, kita harus menyadari bahwa setiap postingan apapun akan dituntut pertanggungjawaban, apalagi menyangkut orang lain. Ingatlah! Tidak ada satu pun kata yang terucap atau tertuliskan tanpa sepengetahuan-Nya. Bukankah Tuhan mengingatkan kita tentang hal itu? “…Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (QS 50:18).


    Lalu, kita juga menghindari memosting berita yang berpotensi mencemarkan nama baik seseorang, terutama membeberkan aibnya (meskipun faktanya ada) yang dalam bahasa agama, dikenal dengan gibah, terambil dari kata gaib ‘tidak ada’. Artinya membicarakan aib saudara kita pada saat yang sama ia tidak hadir untuk membela dirinya. Menyangkut hal ini pun Tuhan dengan jelas menuntun kita agar menjauhi perilaku tercela itu. Bahkan, perbuatan itu diibaratkan seperti memakan daging saudaranya yang sudah busuk (QS 49: 12).


    Terkait berita bohong, kita harus menyadari bahwa pada prinsipnya informasi apapun, apalagi berkenaan dengan orang lain, lebih-lebih kepentingan umum tidak serta merta dipercayai mentah-mentah dan ditelan bulat-bulat. Kalau diragukan kebenarannya, harus dilakukan tabayyun (cek silang). Bukankah Tuhan mewanti-wanti kita agar memeriksa berita dari orang-orang fasik agar kita tidak menimpakan suatu musibah (kemudaratan) bagi suatu kaum yang menyebabkan rasa penyesalan di kemudian hari? (QS 49: 6).


    Ketiga, aparat penegak hukum. Dalam konteks ini, sebenarnya ada hal baru yang mesti disyukuri. Sistem hukum pidana Indonesia memasuki fase pembaharuan, yaitu pendekatan keadilan restoratif dalam penyelesaian hukum pidana. Target pendekatan keadilan restoratif adalah pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana seperti sedia kala bukan pembalasan (keadilan retributif) yang selama ini diterapkan. Howard Zehr (1990: 180) dalam bukunya Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, mengatakan penghukuman bagi pelaku tindak pidana bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan secara komprehensif karena justru di dalamnya rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak pelaku dan tidak dapat mengembalikan hak-hak korban yang terlukai.


    Keempat, pada perspektif pelaku, bagaimana sikap kita jika sudah terlanjur berlaku zalim kepada orang lain. Lalu, kita menyadari kesalahan sedangkan kita tidak punya akses untuk meminta maaf kepada orang yang pernah terzalimi dengan mulut atau jemari kita. Pada posisi ini, Prof Quraish Shihab menyarankan kita untuk memohon kepada Tuhan agar Dia mengambil alih dosa itu sehingga kelak orang tersebut akan ditawarkan konsep qistu oleh-Nya (model restorative justice ala Tuhan). Beliau menceritakan kisah Imam Al-Ghazali dalam bukunya al-Maqshad fi Syarh Asma’ Allah al-Husna tentang qistu bahwa kelak ada orang yang datang kepada Tuhan mengadukan orang lain. “Tuhan, si A dulu menghina dan mencemarkan nama baikku, sekarang saya datang kepadamu menuntut keadilan. Lalu, Tuhan menawarkan konsep qistu dengan menampakkan suatu tempat yang sangat indah, memukau. Lalu orang itu bertanya, “Tuhan, punya siapakah itu? ”Yang sanggup membelinya.” Lalu, ia bertanya lagi, “Siapakah yang sanggup membelinya? “Kamu sanggup membelinya asalkan kamu maafkan saudaramu.” Dengan serta merta penuntut itu menerima tawaran Tuhan itu.


    Kelima, dalam perspektif korban. Penulis menganjurkan agar kita membuka ruang maaf. Janganlah kita bersikukuh menuntut karena nantinya Tuhan tidak akan menyodorkan tawaran qistu kepada kita. Berilah maaf dengan tulus; tidak lagi membekas karena kata maaf berasal dari kata afwun ‘menghapus bekas luka di hati’. Menghapus tentu menghilangkan sama sekali bekas luka itu. Jadi, kelirulah jika ada orang yang “katanya” telah memaafkan tetapi masih tetap menempuh jalur hukum untuk memperkarakan orang lain.


    Terakhir ada cara sederhana agar kita bebas dari jeratan UU ITE. Lakukan dua hal berikut: jika belum bisa memuji janganlah memaki, jika belum bisa mencintai janganlah membenci. Camkan!

    Telah dimuat di Riau Pos, Minggu 24 Oktober 2021

  • Kesantunan Imperatif

    Kesantunan Imperatif

    Dalam realitas komunikasi di ruang publik, sering ditemukan berbagai bentuk imbauan. Beragam kategorisasi sifat imbauan tersebut, ada yang ditulis dengan konstruksi perintah, ada yang berkonstruksi deklaratif, berkonstruksi pasif, dan ada yang  berbentuk interogatif. Namun, semua bentuk tersebut pada hakikatnya menghendaki dilakukannya pekerjaan yang ditujukan untuk orang yang diberikan perintah. Oleh karena itu, padanan kalimat imperatif-bukan kalimat perintah-dianggap lebih tepat mendeskripsikan kalimat perintah.

    Ilustrasi "Dilarang Merokok!"
    Larangan merokok. Foto: kmjurnalistik.com

    Berkaitan dengan kalimat imperatif, ada fenomena kebahasaan yang menarik untuk diamati.  Dari sekian banyak bentuk imbauan yang ada di ruang publik, terdapat dua imbauan yang seakan tidak dapat dipisahkan dari rutinitas kehidupan sosial manusia. Pertama, hal yang berkaitan dengan sampah, dan kedua, yang berkaitan dengan rokok.

    Pada permasalahan sampah, biasanya terdapat beberapa model imbauan, seperti:  “Jangan buang sampah di sini!, “Dilarang buang sampah di sini,” “Terima kasih Anda tidak membuang sampah di sini.” Bahkan ada yang menulis, “Yang buang sampah di sini, keparat. Sedangkan beberapa imbauan tentang rokok pun biasa ditemukan seperti: “Dilarang merokok di sini”, “Maaf, dilarang merokok di dalam ruangan ini!”, “Terima kasih Anda tidak merokok di ruangan ini”, dan lain-lain. Dalam kajian linguistik, situasi ini dikategorikan ke dalam ranah pragmatik yang mengkaji makna bahasa  berkaitan dengan situasi ujar (speech situations).

    Timbul tanda tanya, bagaimana penggunaan kalimat imperatif di ruang publik yang mampu menggugah empati masyarakat untuk mematuhi imbauan? Artinya, bahasa tidak hanya dibatasi pada aspek struktural yang menafikan permasalahan di luar lingkup struktural. Jadi, ketika melakukan imbauan, sebenarnya secara implisit si penutur ikut terlibat dari reaksi imbauan yang disampaikan. Artinya, tuturan imperatif tidak identik  perintah untuk dilakukan oleh mitra tutur semata, tetapi dapat saja menuntut reaksi tindakan antara penutur dan mitra tutur secara bersama. “Ayo, mari kita bersihkan ruangan aula ini,” atau malah si penutur harus melakukan tindakan dengan persetujuan sang mitra tutur, “Khalil, coba ke sini saya perbaiki sepeda kamu.”

    Agar tidak terjadi benturan komunikasi antara peserta tutur maka ada dua prinsip yang mesti diperhatikan, yaitu Prinsip Kerja Sama (Grice, dalam Leech, 1983) dan Prinsip Kesantunan (Leech:1983) yang  berorientasi pada kejelasan informasi agar dicapai kesepahaman antara penutur dan mitra tutur. Penutur dan mitra tutur wajib mematuhi empat maksim, yaitu kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Keempat maksim tersebut, bahwasanya ada kesepakatan tidak tertulis antara penutur dan mitra tutur untuk memiliki persamaan persepsi, kontribusi, dan kepentingan dari tindakan pekerjaan yang disampaikan.

    Prinsip Kerja Sama dirasa belum cukup untuk memenuhi kebutuhan berkomunikasi.  Oleh karena itu, Leech mengajukan Prinsip Kesantunan yang berorientasi pada hubungan interpersonal. Prinsip Kesantunan mencakup maksim kebijaksanaan; meminimalkan kerugian atau memaksimalkan keuntungan bagi orang lain, maksim penerimaan; meminimalkan keuntungan atau kehormatan bagi diri sendiri, maksim kemurahan; memaksimalkan kerugian diri sendiri, maksim kerendahan hati; meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri, maksim kecocokan; memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan maksim kesimpatian;  memaksimalkan rasa simpati, dan meminimalkan rasa antipati kepada mitra tuturnya.

    Selain penerapan kedua prinsip di atas, dalam bahasa Indonesia terdapat empat pemarkah kesantunan linguistik tuturan imperatif: (1) panjang pendek tuturan, (2) urutan tutur, (3) intonasi dan isyarat kinesik, (4) ungkapan-ungkapan penanda kesantunan, seperti tolong, mohon, silakan, mari, biar, ayo, coba, harap, hendak (lah/nya), dan sudi kiranya, sudilah, mudah-mudahan, moga-moga.

    Berdasarkan kesantunan imperatif di atas, maka seyogianya imbauan yang bernada melarang seperti “Dilarang merokok”, “Dilarang membuang sampah sembarangan”, imbauan yang merendahkan mitra tutur semestinya diganti dengan imbauan yang mengedepankan apresiasi terhadap mitra tutur, misalnya “Terima kasih Anda tidak merokok”, “Terima kasih Anda membuang sampah pada tempatnya.” Intinya, menegur jangan sampai menghina, mendidik jangan sampai memaki, meminta jangan sampai memaksa, memberi jangan sampai mengungkit.

    Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kesantunan Imperatif, http://aceh.tribunnews.com/2013/11/17/kesantunan-imperatif.

  • Menggugat Eufemisme dan Politisasi Bahasa Publik

    Menggugat Eufemisme dan Politisasi Bahasa Publik

    Bahasa, sejak kita dilahirkan bahkan sejak kita dalam kandungan pun telah menjadi perekat antarsesama manusia (ibu dan anaknya) dalam membangun komunikasi verbal maupun non verbal. Dalam skop yang lebih besar, bahasa menjadi tempat bertemunya berbagai kepentingan, adakalanya bahasa berada pada posisi negatif maupun positif, sesuai kepentingan penggunanya.


    Tulisan Bahasa dan Politik
    Ilustrasi tulisan bahasa dan politik

    Dengan demikian, bahasa dapat diarahkan sesuka penggunanya demi kepentingan-kepentingan tertentu untuk mencapai maksud tertentu pula. Oleh karena itu, bahasa dapat saja berada pada sisi negatif maupun positif itu, makanya ketika digunakan hendaknya dipertimbangkan efek yang ditimbulkan, apalagi jika bahasa tersebut sasarannya berada di ranah publik yang implikasinya mau tidak mau memengaruhi suasana publik di mana bahasa tersebut digunakan.

    Biasanya, ragam bahasa di ranah publik berkisar pada problematika politik sehingga sering disebut bahasa politik. Elite politik dan birokrasi menggunakannya untuk menyampaikan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Nah, ketika bahasa politik berkiprah untuk kepentingan kekuasaan secara tidak langsung bahasa politik telah berubah menjadi politik bahasa dengan ciri-ciri antara lain: mengubah nilai semantis bahasa melalui penghalusan makna, dalam bentuk eufemisme bahasa, dan terjadinya bentuk-bentuk bahasa propaganda, berupa bahasa agitasi (menebar permusuhan) dan bahasa rumor (tidak jelas sumber beritanya).

    Barangkali kita masih ingat bagaimana istilah-istilah bahasa politik dalam beberapa kasus yang dijerat KPK, seperti kata-kata ”apel malang”, ”apel washington”, ”semangka”, dan ”pelumas” yang tentu tidak diartikan secara harfiah. Penggunaan kata-kata tersebut bagaimana mengindikasikan tindakan korupsi dilakukan secara sadar dan telah dirancang secara matang oleh para pelakunya.

    Penggunaan kata “uang” atau “suap” dianggap sebagai diksi yang kasar lalu terjadilah eufemisme bahasa untuk menggantikan kekasaran itu dengan kata yang dinilai lebih sopan dan terhormat. Padahal, kehadiran majas eufemisme pada hakikatnya digunakan untuk menghadirkan makna semantis yang santun dan bermartabat agar tidak menyinggung perasaan.

    Eufemisme biasanya digunakan untuk tuntutan tatakrama atau menghindari kata-kata pantang (tabu) atau kata-kata yang kasar dan kurang sopan. Intinya, eufemisme mempergunakan kata-kata dengan arti baik. Namun, eufemisme akhir-akhir ini telah berubah menjadi jargon politik yang mengemas sesuatu dengan makna yang kabur, ambigu dan penuh intrik dan kebohongan.

    Pemakaian bahasa eufemisme dalam konteks berita politik atau sosial lainnya telah menghilangkan makna yang sebenarnya. Penggantian kata yang memiliki makna buruk dengan istilah atau kata yang halus telah mengakibatkan khalayak tidak mampu melihat kenyataan yang sesungguhnya.

    Sebenarnya, jelas tergambar perbedaan bagaimana fungsi eufemisme dalam tindak tutur antar manusia dengan eufemisme dalam nuansa politis curang yang penuh praktik korupsi. Dalam tindak tutur, kata-kata yang digunakan agar menciptakan nilai moralitas penuh kesopanan. Akan tetapi, dalam praktik korupsi, kata-kata yang vulgar sengaja dihindarkan untuk menyelubungi prilaku kotor dan untuk menyimpan kerahasiaan yang sistemik.

    Bahasa korupsi seakan sangat bermoral dengan eufemisme mendalam supaya memberikan kesan impresi kesantunan. Mereka menciptakan sandi-sandi yang sulit dilacak setiap orang (bahasa rahasia) dengan tujuan dapat berkilah dan bersilat lidah sehingga terlepas dari jerat hukum. Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa rahasia dikenal dengan istilah argot. Secara konseptual, argot dapat diartikan sebagai kosakata nonstandar dan dipakai sebuah kelompok yang terikat oleh kepentingan bersama akibat isolasi ataupun perlawanan mereka terhadap otoritas.

    Secara tradisional, argot diasosiasikan dengan mereka yang hidup di luar hukum, seperti pencuri, perampok, pencopet, dan sejenisnya (Blake,Secret Language: Codes, Tricks, Spies, Thieves, and Symbols, 2010). Jadi, ketika bahasa argot digunakan oleh para politisi busuk maka dapat pula dianalogikan mereka seperti para pencuri dan perampok. Bahkan, lebih jahat dari kedua profesi tersebut mengingat korban yang dirugikan jauh lebih banyak.

    Eufemisme dan politisasi bahasa memang sudah mendunia dan telah mengelabui atau menyesatkan pemahaman publik internasional. Chomsy dalam buku Manufacturing Consent dan International Terrorism jelas-jelas mengkritik media barat atas penggunaan kata ‘terorisme’ dan ‘teroris’ yang sering salah kaprah. Anak-anak Palestina melempari tank dengan batu disebut sebagai ‘teroris ( terrorist attacks). Di lain pihak, tentara Israel yang menyerang palestina dengan membabi buta disebut ‘tindakan pencegahan tumbuhnya terorisme (a legitimate response) atau ‘tindakan pembalasan’ (acts of retaliation) atau demi tegaknya nilai HAM (self-defense in the service of human rights).

    Oleh karena itu, penyebutan terminologi dengan nuansa eufemisme yang sebenarnya menutupi fakta yang sebenarnya seperti kata relokasi untuk mengganti kata pengusuran, dinonaktifkan untuk mengganti kata dipecat, menyesuaikan harga untuk mengganti kata menaikkan harga, kekurangan pangan untuk mengganti kelaparan, masyarakat prasejahtera untuk mengganti rakyat miskin, penggusuran menjadi penertiban, busung lapar menjadi gizi buruk perlu ditinjau kembali agar masyarakat awam ini tidak menjadi objek permainan bahasa terus-menerus.