Category: Artikel

  • Kontroversi Penghargaan Sastra

    Kontroversi Penghargaan Sastra

    Apalah arti karya seni tanpa apresiasi? Begitu juga karya sastra. Sebagai hasil proses kreatif yang lahir untuk menunjukkan “sesuatu”–baik dari segi tampilan maupun dari segi isi–karya sastra adalah media komunikasi penulis dengan pembaca.

    Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, Prof. A. Teeuw, mengungkapkan bahwa karya sastra baru memiliki makna setelah melalui proses pembacaan. Makna yang diberikan pembaca kemudian menjadi nilai. Nilai kemudian menjadi citra, dan citra otomatis mendatangkan respon.

    Jika negatif, karya bersangkutan akan ditinggalkan (dan terlupakan perlahan-lahan). Sebaliknya, jika positif, karya bersangkutan akan memperoleh penghargaan sebagai bentuk “perekomendasian” (sehingga dibaca banyak orang dari waktu ke waktu).

    Proses penilian penghargaan sastrawan melibatkan keseluruhan penghargaan yang dicapai karya-karya yang pernah ditulisnya. Secara umum, bisa juga diartikan sebagai penghargaan bagi usaha sungguh-sungguhnya dalam dunia tulis-menulis.

    Jika seorang sastrawan telah dianugerahi suatu penghargaan, berarti bisa dikatakan bahwa apa saja karya yang pernah diciptakannya dianjurkan bagi siapa saja yang berminat membaca karya sastra. Begitulah upaya sejumlah lembaga yang bergiat di bidang literasi–untuk menyaring pilihan-pilihan yang terbaik.

    Namun, penghargaan terhadap sastrawan pada kenyataannya tak jarang pula menuai kontroversi yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: apa makna penghargaan sastra yang sesungguhnya?

    Ada kalanya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi tak puas dari sejumlah pihak karena sastrawan yang menerimanya dinilai tidak layak. Pada 1995, tersiar kabar bahwa Yayasan Ramon Magsaysay akan menganugerahi Hadiah Magsaysay (kategori sastra) kepada Pramoedya Ananta Toer. Sontak sejumlah reaksi berdatangan dari sejumlah sastrawan Indonesia.

    Tercatat, setidaknya ada 26 nama yang menjadi penanda tangan sebuah surat guna merespon negatif keputusan Yasasan Ramon Magsaysay tersebut. Beberapa di antaranya: H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Taufiq Ismail, dan W.S. Rendra. Ya, pemberian Hadiah Magsaysay pada Pramoedya dinilai mengganggu nama baik almarhum Presiden Ramon Magsaysay sebab penulis Tetralogi Buru tersebut sebelumnya dianggap bertanggung jawab atas penindasan terhadap kebebasan berekspresi pada masa kejayaan Lekra.

    Sebagaimana komentar sastrawan kawakan Filipina, Frankie Sionil Jose, “Seandainya Ramon Magsaysay masih hidup hari ini, saya yakin dia akan mengutuk Yayasan yang membawa-bawa namanya untuk memberikan hadiah 1995 kepada Pramoedya Ananta Toer.”

    Reaksi yang lebih radikal muncul dari Mochtar Lubis, selaku peraih hadiah yang sama pada 1958. Terang saja bahwa penganugerahan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya membuatnya begitu kecewa. Bahkan, penulis kelahiran Padang tersebut kemudian sempat menyatakan bahwa dia akan mengembalikan Hadiah Magsaysay miliknya jika Pramoedya tetap diberikan penghargaan yang sangat bergengsi di kawasan Asia itu.

    Kasus yang lebih heboh kemudian terjadi di Inggris Raya pada 2007. Saat itu Ratu Elizabeth II menganugerahkan gelar kebangsawanan Inggris kepada penulis kontroversial Salman Rushdie atas sejumlah karya tulis yang telah dihasilkannya selama bertahun-tahun.

    Berita tersebut tentu saja segera menyulut konflik diplomatik antara negara-negara (berpenduduk mayoritas pemeluk) Islam dan Kerajaan Inggris. Bagaimana tidak, Salman Rushdie yang menerbitkan buku The Satanic Verses pada 1988 dianggap telah menghina agama Islam dan menjadi musuh Islam yang segera dijatuhi fatwa hukuman mati oleh Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Khomeini, sehingga pemberian penghargaan kepadanya sama saja menghina umat Islam.

    Jika sebelumnya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi keras dari pihak pengamat (yang merasa tidak puas), selanjutnya ada pula penghargaan terhadap sastrawan yang mendapat reaksi tegas dari pihak penerimanya sendiri.

    Pada 1926, Sinclair Lewis menolak Hadiah Pulitzer untuk novelnya Arrowsmith. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling prestisius dalam dunia tulis-menulis di Amerika Serikat. Lewis yang dikenal kritis terhadap negara Paman Sam menyatakan, “Setiap paksaan diletakkan kepada penulis agar dia menjadi penulis yang aman, sopan, patuh, dan steril. Sebagai bentuk protes, saya menolak pemilihan Institut Nasional Seni dan Sastra beberapa tahun yang lalu, dan sekarang saya harus menolak Hadiah Pulitzer.” Karena alasan idealisme, Lewis menolak untuk “dijinakkan”.

    Sikap yang mirip juga dilakukan Jean-Paul Sartre pada 1964. Saat itu penulis asal Prancis tersebut membuat gaduh seantero dunia lewat sikapnya menolak penghargaan (kategori sastra) paling bergengsi di planet bumi, yaitu Nobel! Saat itu, fenomena tersebut merupakan yang pertama sepanjang sejarah penghargaan Nobel.

    Ketika sejumlah orang heran dan sebagian orang menilai sikap Sartre sebagai arogan, filsuf eksistensialisme tersebut dengan tegas menyatakan, “… seorang penulis sejati harus menolak sesuatu yang bisa membuatnya berubah menjadi sosok yang mendukung suatu institusi.” Karena idealisme yang dipegangnya dengan teguh, Sartre benar-benar ingin netral dalam berekspresi. Dia tak ingin mengemukakan gagasannya sebagai bagian dari pihak tertentu.

    Masih mengenai kontroversi Hadiah Nobel, pernyataan yang bersahaja (tapi tak kalah dahsyat) juga pernah diungkapkan penulis masyhur Rusia, Leo Tolstoy, ketika menanggapi kenapa Hadiah Nobel tak diberikan kepadanya pada 1901. Tolstoy berkata, “Saya sangat senang mengetahui bahwa Hadiah Nobel tidak dianugerahkan kepada saya. Ini menghilangkan masalah besar bagi saya perihal bagaimana menggunakan uang itu. Saya yakin bahwa uang itu hanya membawa kejahatan.”

    Ya, penghargaan sastra bukanlah satu-satunya alat pelegitimasi kehebatan seorang sastrawan. Tolstoy akan tetap dinilai sebagai penulis besar meski dia tak pernah mendapat Hadiah Nobel. Selama karya-karyanya memiliki pembaca, siapa saja akan tahu bahwa Tolstoy adalah penulis hebat. Begitu juga Sartre. Dia “tak perlu” dianugerahi satu pun penghargaan untuk mendapat pengakuan sebagai penulis hebat. Siapa saja yang membaca karya-karyanya tahu bahwa dia penulis hebat. Bahkan, mungkin teramat hebat karena dia juga benar-benar memiliki idealisme luar biasa, sehingga nekat menolak Hadiah Nobel!

    Ya, bukankah penghargaan sejati bagi seorang sastrawan sederhana saja, yaitu saat karya(-karya)nya bisa bermanfaat bagi (para) pembaca? Dan bukankah dewan juri yang sesungguhnya adalah para pembaca yang senantiasa dilahirkan sang waktu entah sampai kapan?

    Artikel ini terbit dengan revisi minor dari aslinya yang telah terbit di Padang Ekspres, 24 September 2017

  • Penamaan Bahasa Sigulai: Sudah Tepatkah?

    Penamaan Bahasa Sigulai: Sudah Tepatkah?

    Bahasa merupakan ciri khas manusia. Keberadaan bahasa sebagai sesuatu khas yang dimiliki manusia itu, kemudian menjadi media dan mengembangkan pikiran manusia. Ernest Cassiner menyebut manusia sebagai “animal symbolicum” yakni makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasaan dalam memberi dan mengisi kehidupan (Aminuddin, 2001:17).

    Bahasa memiliki ragam dan dialek. Keragaman bahasa merupakan salah-satu faktor penentu identitas kedaerahan/kewilayahan maupun status sosial.. Meskipun sebuah bahasa mempunyai kaidah atau pola tertentu yang sama, namun karna bahasa itu digunakan oleh penutur yang heterogen yang mempunyai latar belakang sosial dan kebiasaan berbeda, maka bahasa itu menjadi beragam.

    Salah-satu wilayah yang memiliki banyak ragam atau dialek bahasa di Aceh adalah Kabupaten Simeulue. Kabupaten Simeulue merupakan sebuah pulau yang berada kurang lebih 150 KM dari lepas pantai barat Aceh. Kabupaten ini terbentuk sebagai pemecahan dari  Kabupaten Aceh Barat tahun 1999 dengan ibu kota Sinabang. Sinabang dengan logat daerah dibaca Si navang yang berasal dari legenda Navang. Navang adalah seorang pembuat garam masa dulu di daerah babang (pintu masuk teluk Sinabang). Navang membuat garam dengan membendung air laut yang masuk ke pantai babang, kemudian dikeringkan sampai menjadi garam. (http://www.simeuluekab.go.id).

    Simeulue memiliki 10 Kecamatan antara lain: Alafan, Simeulue Barat, Salang, Simeulue Cut, Teluk Dalam, Simeulue Tengah, Teupah Tengah, Teupah Barat, Simeulue Timur, dan Teupah Selatan. Menurut sumber: aceh.tribunnews.com Kabupaten Simeulue memiliki 6 jenis bahasa lokal, yakni Bahasa Sigulai, Lekon, Simelul, Jamee, Haloban, dan Devayan. Akan tetapi, salah-satu yang menjadi pertanyaan bagi penulis dan sebagian anggota masyarakat di Kabupaten Simeulue yakni, terkait legalitas penamaan bahasa Sigulai.

    Bahasa Sigulai merupakan bahasa yang digunakan oleh 3 kecamatan di Kabupaten Simeulue: Alafan, Salang, dan Simeulue Barat. Bahasa Sigulai mungkin sudah menjadi nama bahasa yang populer di luar Kabupaten Simeulue. Namun demikian, penulis masih meragukan legalitas penamaan tersebut. Menurut penulis, Sigulai itu merupakan salah-satu nama desa di Kecamatan Simeulue Barat, Kabupaten Simeulue.

    Salah seorang peneliti bahasa dari Kabupaten Simeulue: Hasanul Amri (asal Kecamatan Simeulue Cut) juga meragukan penamaan nama Sigulai. Menurutnya, Sigulai merupakan nama yang lebih sering dipakai oleh masyarakat Kecamatan Simeulue Barat. Kebetulan salah satu desa di kecamatan tersebut bernama Sigulai. Akan tetapi, bagi masyarakat dari kecamatan lain terutama yang berdiam di Salang dan Alafan, bahasa tersebut cenderung disebut dengan nama  yang berbeda.

    Pendapat Hasanul Amri tidak berbeda dengan hasil penelusuran langsung penulis. Beberapa warga dari tiga kecamatan lain yang penulis wawancarai menyampaikan jawaban yang berbeda-beda terkait nama bahasa mereka. Sebagian mengatakan bahasa Sigulai, yang lain mengatakan bahasa Agemei, dan ada pula yang mengatakan bahasa Dau Batu. Bahkan sebagian lagi tidak mengetahui nama bahasa mereka sendiri. Hal ini merupakan alasan kuat bahwa meskipun penamaan bahasa Sigulai cenderung telah memasyarakat (di luar), namun di daerah pemakaiannya sendiri masih diperdebatkan.

    Tulisan ini sengaja dibuat untuk menjadi bahan refleksi bagi masyarakat Salang, Alafan, dan Simeulue Barat, termasuk bagi para peneliti dan pemangku kepentingan kebahasaan dan kebudayaan. Ke depan diharapkan penamaan bahasa masyarakat Simeulue benar-benar memiliki landasan sosial dan historis yang kuat dan dapat diterima oleh semua kalangan.

    Isi tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

    Editor: Baun TSS

  • Jalan Terjal Pelestarian Bahasa

    Jalan Terjal Pelestarian Bahasa

    Dahulu, pelarangan maupun pembatasan bahasa dipandang sebagai masalah utama pelestarian atau pemertahanan bahasa. Oleh karena itu, kolonialisasi disusul pembentukan negara-negara bangsa merupakan biang kerok perubahan dan kepunahan bahasa.

    Alasannya, meskipun berseberangan secara ideologis, tetapi dua proses itu ibarat dua sisi koin yang sama: mempromosikan (jika tidak memaksakan) bahasa-bahasa tertentu saja.

    Bangsa penjajah cenderung memaksakan pemakaian bahasa mereka di tanah jajahan demi kepentingan kolonisasi. Sementara itu, pemerintah negara bangsa yang baru merdeka juga berupaya sekuat tenaga mempromosikan bahasa-bahasa nasional demi memperkuat kohesi sosial dan stabilitas politik, membangun satu sistem komunikasi nasional yang efektif demi percepatan modernisasi dan pembangunan nasional.di berbagai bidang.

    Jika yang pertama memanfaatkan bahasa sebagai alat kolonialisasi, yang kedua menggunakannya sebagai alat pembangun rasa kebangsaaan. Karena sama-sama megedepankan kontrol politik, maka baik pada periode penjajahan maupun masa kemerdekaan, kebijakan bahasa cenderung mengabaikan keberagaman budaya dan bahasa serta melemahkan bahasa-bahasa minoritas.

    Kecenderungan merebaknya perubahan, pergeseran, dan kepunahan bahasa telah memicu kritik terhadap kebijakan bahasa yang mengarah pada monolingualisme terutama sejak era 90-an.

    Pelestarian dan pelindungan bahasa kemudian diarahkan pada perubahan kebijakan/politik bahasa. Setiap negara didorong untuk membuat kebijakan yang ramah bahasa dan tanggap terhadap keberagaman.

    Namun demikian, fenomena perubahan dan kepunahan bahasa masih terus terjadi termasuk di negara-negara yang secara terbuka telah memproklamasikan pelindungan keberagaman dan penghormatan terhadap hak-hak bahasa dan budaya.

    Ancaman perubahan dan kepunahan bahasa ternyata tidak semata persoalan kebijakan. Jaminan pelindungan dan pemeliharaan bahasa-bahasa minoritas serta pemberian kesempatan bagi setiap komunitas tutur untuk melestarikan bahasa mereka tidak serta-merta mengempang laju perubahan bahasa. Kenapa?

    Ada dua persoalan penting yang luput dari perhatian model kebijakan ini, yakni loyalitas bahasa dan gengsi bahasa. Yang pertama lebih condong pada persepsi dan ideologi bahasa, sementara yang kedua lebih pada kapasitas dan kualitas bahasa. Dua varibel itu saling berhubungan dan sangat fundamental dalam setiap upaya pelestarian dan pelindungan bahasa.

    Kebijakan yang kuat tanpa dukungan kesetiaan dan kebanggaan serta gengsi bahasa tidak cukup mumpuni mendongkrak upaya pelestarian bahasa. Justru sebaliknya, pelestarian cenderung akan lebih sukses, bahkan tanpa dukungan kebijakan yang kuat sekalipun, selama para penutur memiliki kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa mereka. Apalagi jika bahasa tersebut memiliki gengsi dan kapasitas untuk mendukung kebutuhan linguistik mereka dalam mencapai kesuksesan ekonomi, sosial, dan politik.

    Masalahnya, upaya-upaya pelestarian dan pelindungan pada umumnya bersifat top-down (berasal dari pemerintah, peneliti dan aktivis, maupun kelompok-kelompok konservasi)

    Belakangan, globalisasi, neoliberalisasi, dan perkembangan teknologi turut pula memperburuk kondisi bahasa-bahasa minoritas sekaligus memicu penguatan bahasa-bahasa besar serta kecederungan monolingualisme. Dalam estimasi Krauss (1992:7), dari sekitar 6000 bahasa di muka bumi, hanya sekitar 600 yang akan tetap aman pada abad mendatang. Itu artinya, satu persatu bahasa yang pernah eksis akan hilang dan punah di telan zaman.

    Ada tiga hal utama yang perlu dipertimbangkan dalam setiap upaya konservasi bahasa. Pertama, keputusan untuk mempertahankan sebuah Bahasa harus datang dari masyarakat pemiliknya berdasarkan kemauan, kebanggaan dan rasa percaya diri, bukan dipaksakan oleh pihak luar.

    Kedua, faktor ekonomi. Ketika ada motivasi ekonomi untuk mempertahankan sebuah Bahasa, maka masyarakat akan melakukannya. Jika tidak, mereka tidak akan melakukannya.

    Ketiga, dan yang paling penting, adalah kemauan generasi muda. Apabila generasi muda termotivasi (dengan alasan tertentu) untuk menjaga dan mengembangkan budaya mereka dalam bahasa tertentu, mereka akan melakukannya.

    Kegagalan pewarisan bahasa antargenerasi bukan lagi sebatas masalah orangtua, tetapi juga anak-anak yang mengalami tekanan dari konteks yang lebih luas untuk tidak melakukan hal tersebut.

    Kawula muda sering kali tidak begitu tertarik dengan apa yang dianggap oleh kaum tua sebagai warisan budaya, khususnya di era modern. Sekolah penting, tetapi anak muda telah memiliki bahasa mereka sendiri dan ingin mengembangkan subbudaya mereka sendiri, misalnya dengan meniru anak-anak muda di tempat lain.

    Sangat umum terjadi, ketika mereka terasing dengan kebenaran, ketetapan, dan kebaikan yang ditetapkan oleh para senior mereka yang misalnya tidak setuju dengan bahasa slang, bahasa gaul, atau penggunaan kosakata yang bercampur-baur dengan unsur-unsur asing.

    Di luar masalah tersebut, bagaimanapun, generasi mudalah yang akan mengemban tanggung jawab pemertahanan bahasa dan budaya. Oleh karena itu,  kepentingan dan minat mereka bukan saja perlu dipertimbangkan, melainkan memang harus diakomodasi.

    Jadi, kini saatnya memperkuat upaya peningkatan kepedulian generasi muda terhadap nilai-nilai budaya, sosial, ekonomi, dan psikososial, bahkan nilai ideologis yang dibawa oleh bahasa mereka. Langkah tersebut secara bersamaan harus pula dibarengi dengan mengajak mereka merenungkan berbagai kerugian yang akan muncul akibat kehilangan bahasa tersebut.

    Singkatnya, strategi pelestaran bahasa harus dimulai dari bawah (bottom-up) melalui pendekatan komunitas dengan menempatkan generasi muda pada episentrum setiap kebijakan dan langkah yang akan diambil.

  • Sastra dan Pemberontakan

    Sastra dan Pemberontakan

    Konon, dahulu pujangga adalah pengkhayal yang diperintahkan raja untuk mengarang cerita tentang kehebatan (atau mungkin tak berlebihan pula jika disebut keajaiban) kehidupan di istana. Misalnya raja adalah titisan dewa. Pujangga dijadikan alat pengukuh kesakralan kuasa raja (baca: feodalisme) dalam pikiran masyarakat. Atas kinerja brilian itu, sang pujangga beserta keluarganya mendapat perlindungan dan jaminan kesejahteraan dari istana, selain juga status sosial yang terpandang di masyarakat.

    Tulisan ini tak berbicara soal sastra yang semacam itu, sastra yang mesra dengan kekuasaan, tapi sebaliknya, sastra yang oposan, sastra yang berani mengkritik kekuasaan, baik secara halus, semacam menyuguhkan kopi beracun di tengah pesta, maupun secara kasar, semacam terang-terangan memamerkan botol molotov di depan lawan.

    Tidak aneh jika penulis sastra semacam ini kemudian identik dengan cap pemberontak atau pembangkang berbahaya oleh penguasa zalim dalam sejarah. Pemberontak dalam artian pendamba keadilan adalah sebutan yang bisa diterima. Tetapi, dalam artian perusuh yang oportunis, itu jelas salah dan kita harus bersepakat dulu dalam pemaknaan ini.

    Pemberontak yang disebut di sini bukanlah penjahat cerdas yang memanfaatkan kata-kata untuk meresahkan masyarakat, mengacaukan dunia, apalagi meneror keselamatan jiwa umat manusia yang tak berdosa. Bukan. Malah sebaliknya: mereka adalah para pahlawan yang mempertaruhkan keselamatan jiwanya sendiri demi mengharapkan terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih baik dan kehidupan dunia yang lebih indah.

    Mereka memang sering memprovokasi emosi pembaca, tetapi itu semata-mata untuk merangsang sikap penolakan masyarakat terhadap mental tercela orang-orang yang berkuasa, sekaligus mengajak pembaca untuk mantap mengangkat kepala, memperbaiki kerah baju, dan menyingsingkan lengan baju di hadapan moral culas orang-orang yang punya kuasa. Meskipun demikian, mereka juga bukan orang-orang yang melawan penguasa untuk memperoleh kekuasaan. Mereka adalah orang-orang yang suka memosisikan diri di luar kekuasaan; orang-orang yang berpolitik tanpa pamrih kekuasaan.

    Kekuasaan itu melenakan. Mereka sadar betul hal ini. Karena itu kritik harus selalu ada sebagai alarm. “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan penuh korup sepenuhnya,” kata John Acton. Dalam sastra, cerminan paling terkenal tentang fenomena ini dapat dibaca dalam novel Animal Farm (Peternakan Hewan) George Orwell yang menggambarkan sirkulasi otoritarianisme dalam dinamika sosial.

    Bahwa kaum tertindas yang berontak hari ini, setelah berhasil melakukan revolusi dan menggenggam kekuasaan, cenderung menjadi tirani baru di kemudian hari. Dalam kehidupan nyata kita bisa mengenang Presiden Sukarno yang kontroversial itu sebagai contoh paling dekat.

    Pada masa penghujung Orde Lama, banyak tokoh nasional yang dipenjara lantaran mengalami konflik dengan Bung Karno, Pemimpin Besar Revolusi Indonesia itu. Salah seorang pesakitan tersebut adalah sastrawan sekaligus jurnalis ternama Indonesia, Mochtar Lubis. Ia dipenjara selama sembilan tahun tanpa pengadilan gara-gara terlalu nyinyir mengkritik Bung Karno yang mulai bikin dongkol sebagai presiden.

    Dalam masa penahanannya, bukannya berubah inferior, Mochtar Lubis justru tetap melancarkan perlawanan lewat catatan harian yang pada 1980 terbit menjadi buku berjudul Catatan Subversif. Lihat, betapa gagah beraninya judul itu!

    Saat rezim Orde Baru berkuasa, Mochtar Lubis kembali masuk penjara setelah kembali mengusik orang-orang dekat Soeharto. Ia dipenjara selama dua setengah bulan dan seperti sebelumnya: melawan lagi lewat penulisan catatan harian. Buku itu terbit pada 2008 dengan judul Nirbaya: Catatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru.

    Orde Baru yang terkenal korup dan kelewat lama berkuasa memang mengundang munculnya pemberontak-pemberontak berpedang kata. Dalam periode itu, kita bisa menyebut tiga nama yang terkenal: Rendra, Iwan Fals, dan Wiji Thukul. Rendra kondang dengan puisi-puisi pamfletnya dalam mengkritik kumuhnya kepemimpinan Soeharto yang militeristik. Puisi-puisi itu kerap dibacakan di hadapan keramaian, semacam agitasi yang menjadi bensin bagi hati orang-orang yang memendam api, sehingga dianggap berbahaya oleh penguasa, dan akhirnya berimbas pada penangkapan Rendra dan pembuiannya.

    Iwan Fals, sahabat Rendra, juga tak kalah rajin mengkritik Orde Baru lewat lagu-lagu yang dinyanyikannya di hadapan kerumunan massa. Bahkan, lagu-lagu Iwan Fals teramat populer di Indonesia, dan kita sampai sekarang masih akrab dengan lagu-lagu kritik sosial semacam Bongkar dan Bento yang “asyik” itu.

    Ada pun Wiji Thukul, ia adalah cerita yang sadis. Penyair yang juga terkenal lewat puisi-puisi pamflet itu secara misterius hilang dalam bayang-bayang penculikan aktivis oleh aparat pada 1998. Sejak saat itu, raganya hilang entah ke mana, tak pernah tampak lagi, tapi puisi-puisinya terus hidup, sebagaimana kita akan selalu mengingat sepenggal baris puisinya yang bergelora terhadap kezaliman: “maka hanya ada satu kata: lawan!”

    Itu cerita-cerita sekelabat dari Indonesia. Bergeser sedikit ke negeri tetangga, pada penghujung abad kesembilan belas, ada kisah yang tak kalah heroik juga, yaitu ketika tokoh besar Melayu, Jose Rizal, dieksekusi mati di Manila akibat tuduhan menghasut revolusi di tanah airnya tercinta, Filipina.

    Ia memang seorang jenius yang gigih menulis guna menawarkan ide-ide perubahan bagi kehidupan yang lebih baik dalam masyarakat. Ia seorang multitalenta yang pernah menulis dua novel perlawanan berjudul Noli Me Tangere (1887) dan Filibusterismo (1891)–kedua buku ini terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Jangan Sentuh Aku dan Merajalelanya Keserakahan–yang membuat penguasa kolonial Spanyol benar-benar naik pitam, dan karena itulah Jose Rizal berurusan dengan pengadilan lalu dihukum mati pada 1896 ketika ia berusia 35 tahun.

    Sebelum menghadapi regu tembak ia masih sempat pula menulis sebuah puisi perpisahan yang terkenal dengan judul Mi Ultimo Adios, atau bila diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat menjadi Selamat Tinggalku yang Terakhir. Puisi itu punya semangat perlawanan yang abadi. Ia masih membakar semangat nasionalisme bumiputra Filipina bahkan setelah kematian penulisnya (yang belakangan diakui sebagai Bapak Bangsa Filipina. Lebih dari itu, pengaruhnya juga menginspirasi perjuangan bumiputra di Nusantara!

    Kini mari kita beranjak semakin jauh. Di Perancis abad kesembilan belas yang pernah jatuh ke tangan monarki otoriter, ada pula seorang penulis yang begitu dielu-elukan kaum marjinal penuntut revolusi. Namanya Victor Hugo.

    Penulis yang terkenal lewat novel Les Miserables (Orang-Orang Sengsara) dan Notre-Dame de Paris (Bunda Maria dari Paris) itu memiliki pengaruh politik yang besar untuk mengkritik pemerintahan yang sewenang-wenang di negerinya. Ia berani berdiri di barisan para pemberontak sehingga tak jarang ia harus mengungsi ke berbagai tempat untuk menghindari penangkapan penguasa yang mengancam nyawanya.

    Konon, ketika Hugo wafat, lebih dari dua juta orang menghadiri pemakamannya di Paris; jumlah yang melampaui populasi Paris kala itu. Ini merupakan bukti bahwa ia begitu dicintai rakyat Prancis dan karena itu pula ia tetap dikenang hingga sekarang sebagai penulis legendaris.

    Di Uni Soviet abad kedua puluh ketika hegemoni totalitarianisme pimpinan Stalin begitu kuat, pahlawan lain juga muncul dengan kisah yang tak kalah dramatis: Aleksander Solzhenitsyn. Ia berusaha menelanjangi bobrok negara yang tertutup itu lewat tulisan-tulisan yang mencengangkan dunia, terutama tentang penderitaan rakyat akibat komunisme yang sebagian besar tak manusiawi, sehingga memicu kemarahan penguasa yang membuatnya hidup tidak aman.

    Sampai-sampai ketika meraih Nobel Sastra 1970, tokoh ini tak berani bepergian ke luar negeri untuk menerima langsung penghargaan tersebut karena takut dicekal oleh pemerintah. Begitulah, perjalanan hidupnya dihiasi kisah pembuangan, hukuman penjara, pencabutan status kewarganegaraan. Namun secara tak terduga, ketika wafat, ia diakui oleh Presiden Rusia saat itu, Medvedev, sebagai pembela rakyat yang “mendedikasikan seluruh karya dan hidupnya untuk menentang tirani dan segala bentuknya”.

    Soal hubungan sastra dan politik ini Solzhenitsyn pun pernah berkata, “Bagi sebuah negara, memiliki seorang penulis hebat seperti memiliki pemerintahan kedua. Itulah kenapa tak ada rezim yang pernah menyukai penulis besar, hanya yang kecil.”

    Di belahan dunia lain, Amerika Selatan misalnya ketika despotisme abad kedua puluh begitu kental, sejumlah penulis latin juga berperang melawan pemerintah yang berkuasa. Lewat pena lahirlah karya-karya subversif yang tak jarang membuat si penulis terpaksa eksil ke luar negeri. El Otono del Patriarca (Tumbangnya Seorang Diktator) karya Gabriel Garcia Marquez, El Senor Presidente (Tuan Presiden) karya Miguel Angel Asturias, dan Conversacion en la Catedral (Percakapan di Katedral) karya Mario Vargas Llosa merupakan beberapa karya yang bisa dilihat sebagai reaksi kritis sastrawan latin terhadap pemerintah yang berkuasa di negeri mereka kala itu.

    Oh ya, bicara soal Llosa, pada 2010 Akademi Swedia memberinya Hadiah Nobel Sastra dengan testimoni “untuk kartografinya tentang struktur kekuasaan dan gambarannya yang tajam tentang perlawanan, pemberontakan, dan kekalahan individu”.

    Nah, semua contoh yang diangkat dalam tulisan ini tentu hanya beberapa kasus saja di antara banyaknya kasus kezaliman penguasa kepada rakyatnya. Pada dasarnya, kasus-kasus tersebut merupakan cerita lama yang diperankan oleh aktor-aktor baru saja. Seorang atau sekelompok penguasa versus seorang atau beberapa penulis yang berani melakukan kritik terhadap praktik ketidakadilan. Intinya, sejarah mengajarkan satu hal: yang berpihak kepada keadilan selalu harum, dan yang berdiri pongah di seberangnya selalu busuk.

    Editor: Baun TSS

  • Masalah Dialog Berbahasa Asing dalam Penulisan Fiksi

    Masalah Dialog Berbahasa Asing dalam Penulisan Fiksi

    Menulis fiksi adalah memotret kenyataan. Itu sebabnya sastra disebut cerminan masyarakat. Sekalipun fiksi merupakan karangan imajinatif yang subjektif, ia sejatinya berangkat dari hukum-hukum realitas universal yang menjembatani gagasan si penulis dan pengalaman para pembaca yang beragam. Cerita yang dikarang si penulis dapat dipahami para pembaca. Kecenderungan untuk patuh kepada realitas ini kemudian membayangi proses kreatif penulis dalam menarasikan beragam peristiwa dalam karangannya.

    Salah satu peristiwa dalam realitas sosial adalah interaksi antara dua atau lebih orang yang bahasa ibunya tidak sama, seperti pada masyarakat yang bilingual atau multilingual. Di sini masalah muncul: bagaimanakah cara memotret peristiwa kekompleksan berbahasa semacam itu?

    Tiga cara yang ruwet

    Jika merujuk pada beberapa kasus yang terjadi dalam sastra Indonesia dewasa ini, dapat dilihat beberapa sikap penulis yang mirip-mirip.

    Pada novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy pembaca tahu bahwa tokoh utamanya merupakan seorang Indonesia yang menimba ilmu ke negeri Mesir. Karena berinteraksi dengan orang-orang Mesir yang mayoritas berbahasa Arab, tentu sudah pasti ia sebagai pendatang menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi dengan masyarakat setempat.

    Masalahnya, penulis cerita ini menulis karyanya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar, sehingga ketika menampilkan dialog yang ingin berpegang pada hukum-hukum realitas, terjadi keruwetan. Lihatlah contoh berikut ini.

    “Fahri, istanna suwayya!”

    Fi eh kaman?”

    Aku urung melangkah.

    “Uangnya.”

    “Sudah, nanti saja, gampang.” (El-Shirazy, 2008:22)

    Pada dialog tersebut kita bisa melihat ketidakkonsistenan penulis dalam menampilkan dialog si orang Mesir. Di sana dialog si orang Mesir ditampilkan dalam dua bahasa, dan khusus untuk dialog yang berbahasa Arab diberikan terjemahan bahasa Indonesianya di catatan kaki. Sikap menampilkan bahasa Arab seperti itu banyak dijumpai dalam dialog-dialog yang melibatkan tokoh orang Mesir lainnya (selain juga dialog-dialog berbahasa Jerman pada tokoh orang Jerman), sehingga banyak catatan kaki bertaburan di sejumlah halaman dari awal hingga akhir cerita novel tersebut.

    Sementara itu, pada novel Te o Toriatte karya Akmal Nasery Basral keruwetan yang mirip juga terjadi. Di sana kita menemukan peristiwa interaksi antara orang Indonesia dan orang Jepang dalam beberapa kesempatan. Berikut salah satunya.

    Shinjirarenai to wa doiu imidesu ka?” tanya Ryo. Apa maksudmu dengan tak bisa dipercaya?

    “Badan Antisipasi Bencana Alam Nasional (BABAN) sudah mengumumkan Tsunami Selat Sunda setinggi tiga meter. Sementara temuan tim lapangan di beberapa titik menyimpulkan ketinggian tsunami bervariasi antara 8,5 meter, 12,8 meter bahkan sampai 13,5 meter. Jika betul sampai 13,5 meter, maka Tsunami Anak Krakatau ini malah lebih tinggi dari Tsunami Palu di bulan September lalu yang memiliki titik tertinggi 11,3 meter.”

    Ryo tertegun. “Mengapa terjadi perbedaan informasi yang begitu jauh?” (Basral, 2019:62–63)

    Pada novel ini, bahasa yang digunakan untuk menampilkan dialog Ryo juga tak konsisten. Awalnya ucapan Ryo, sebagai orang Jepang, ditampilkan dalam bahasa Jepang, sementara terjemahan bahasa Indonesianya disusulkan pada kalimat selanjutnya. Lalu, pada dialog Ryo berikutnya, bahasa yang digunakan langsung bahasa Indonesia.

    Dua bentuk dialog di atas juga terjadi pada beberapa novel lainnya dalam sastra Indonesia. Pertama, dialog berbahasa asing tidak selamanya ditampilkan pada dialog yang melibatkan tokoh bukan orang Indonesia, lebih sering pada bagian tertentu dialog saja, dan cenderung hanya untuk mempertegas bahwa si tokoh adalah orang asing (baca: bukan orang Indonesia). Kedua, ketika menyiasati terjemahan bahasa Indonesia dialog berbahasa asing, ada penulis yang menyertakan terjemahan di catatan kaki, namun ada pula yang menyertakannya setelah kalimat berbahasa asing.

    Selain dua macam sikap tersebut, sebenarnya ada pula sikap lain yang lebih ringkas, yaitu menampilkan dialog berbahasa asing saja, tanpa repot-repot memberi tahu terjemahan bahasa Indonesianya kepada pembaca. Cara ini biasanya dilakukan terhadap dialog berbahasa Inggris. Mungkin karena bahasa Inggris sudah dianggap cukup banyak dipahami oleh masyarakat Indonesia saat ini, jadi terjemahan bahasa Indonesianya tak perlu lagi disertakan dalam narasi.

    Lalu, tepatkan sikap-sikap semacam itu ketika mengisahkan sebuah cerita dalam karya novel? Hal ini sebenarnya tak bisa dijawab dengan pasti, sebab tidak ada dalil-dalil khusus sebagai aturan baku dalam menulis kreatif tentang apa yang tepat dan apa yang tidak. Prinsip lisensi puitika memberikan kebebasan kepada pengarang dalam berkreasi sesuai tujuannya.

    Kini pertanyaannya: apa tujuan si penulis bersikap seperti itu? Apakah murni untuk mempertegas kedekatan cerita karangannya terhadap realitas, atau malah ada niat untuk pamer kemampuan berbahasa asing agar karyanya terkesan lebih bergengsi? Atau mungkinkah niatnya untuk memberi edukasi berbahasa asing sambilan kepada pembaca di Indonesia? Atau lainnya?

    Jika niatnya untuk edukasi berbahasa asing sambilan, sikap itu jelas ceroboh sebab ia tak akan efektif; fiksi dibaca bukan untuk tujuan seperti itu. Jika niatnya untuk pamer kemampuan berbahasa asing, sikap itu jelas lebih parah lagi karena ia menampilkan kesan yang kekanak-kanakan.

    Jika niatnya untuk mempertegas kedekatan cerita karangannya terhadap realitas, sikap itu pasti akan mendatangkan kerepotan (terutama jika tokoh-tokoh dalam cerita memiliki latar belakang budaya yang sangat beragam). Cerita cenderung tidak konsisten (terutama jika tokoh-tokoh orang asing dalam cerita itu memiliki peran yang cukup penting dalam cerita, sehingga memiliki porsi dialog yang sangat banyak). Selain itu, narasi cerita akan penuh oleh terjemahan di sana-sini yang membuat pembaca tidak nyaman.

    Universalisme bahasa

    Oleh karena itu, bagi saya pribadi, menampilkan dialog berbahasa asing dalam cerita merupakan sikap yang tidak ideal. Dalam suatu bangunan narasi yang utuh, pikiran atau gagasan yang disampaikan si penulis idealnya terwujud dalam bahasa yang tunggal (bukankah bahasa itu pada dasarnya berposisi sebagai wujud pikiran/ide/makna, dan bagaimanapun macam wujudnya, pasti mengandung konsep yang sama dan universal.

    Sejatinya pikiran/ide/makna bersifat tunggal; language dalam istilah de Saussure. Adapun soal kosakata atau istilah khas yang tanpa padanan dan tak bisa diterjemahkan secara tepat, lalu terpaksa ditampilkan dalam bahasa aslinya, itu perkara lain. Hal itu sama belaka dengan setiap ungkapan yang mengacu kepada identitas, seperti nama orang, tempat, judul buku, judul lagu, dan sebagainya. Ia tetap tampil dalam bahasa aslinya.

    Langkah Pram

    Dalam khazanah sastra Indonesia, kita bisa mengedepankan karya Pramoedya Ananta Toer, pengarang Indonesia yang paling mendunia itu, sebagai contoh. Dalam novel Bumi Manusia, tokoh-tokoh dalam ceritanya berasal dari berbagai latar belakang kebudayaan, seperti Jawa, Madura, Belanda, Prancis, Cina, dan Jepang. Mereka saling berinteraksi.

    Pram tidak repot-repot menyajikan ucapan para tokoh dalam bahasa asing. Ia hanya memberi keterangan sebelum atau sesudah kutipan ucapan langsung si tokoh bahwa ia berkata dalam bahasa apa. Contohnya seperti berikut.

    “Jelas sewanya lebih mahal,” kataku dalam Belanda (Toer, 2011:19).

    Ia berhenti di hadapanku, bertanya dalam Melayu:

    “Kontrol, Nyo?”

    “Ya,” kataku.

    “Ya, Yu Minem,” tiba-tiba Annelies sudah ada di belakangku. “Sudah berapa ember perahanmu sehari?” Sekarang ini menggunakan Jawa.

    “Tetap saja, Non,” jawab Minem dalam Jawa Kromo (Toer, 2011:47).

    “Sudah berubah letaknya ini?” tanya komandan dalam Melayu.

    “Sedikit. Tadi kugoyang,” jawab Darsam dalam Madura (Toer, 2011:406).

    Sebenarnya, sejak awal Pram telah memberitahu pembaca bahwa latar waktu cerita dalam novelnya adalah tahun 1898, artinya saat itu belum ada bahasa Indonesia, kecuali bahasa Melayu (cikal bakal bahasa Indonesia). Ia menulis novelnya dalam bahasa Indonesia, dan ia konsisten menggunakan bahasa itu dari halaman awal hingga akhir tanpa harus repot menulis dialog tokoh-tokohnya dalam bahasa asli mereka yang sesuai realitas tahun 1898 di Jawa, dan karena itu menjadi tampak elegan sebagai sebuah narasi yang utuh.

    Bukankah selama ini karya-karya terjemahan bahasa Indonesia tidak mempertahankan dialog dalam bahasa asli karya tersebut? Semua unsur karya tersebut pasti ikut dialihbahasakan ke bahasa Indonesia. Begitu juga sebaliknya. Karya sastra Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa asing akan dialihbahasakan juga ke bahasa sasaran seutuhnya.

  • Sekilas Gerakan Literasi Nasional (GLN): Tugas Masih Berat

    Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan GLN (Gerakan Literasi Nasional) pada tahun 2016 sebagai induk gerakan literasi secara nasional untuk menyinergikan berbagai program dan kegiatan lintas sektor.

    Dr. Tengku Syarfina, M.Hum. menyampaikan sambutan sekaligus membuka secara resmi Bimbingan Teknis Fasilitator Literasi Baca-Tulis Tingkat Regional Sumatera di Pekan Baru Riau, 17 Juni 2019.


    GLN merupakan bagian dari implementasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pada tahun 2017 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) ditunjuk sebagai koordinator GLN.


    Banyak pembaca yang tidak asing lagi dengan istilah Gerakan Literasi Nasional (GLN). Meskipun demikian, tidak sedikit yang masih bertanya-tanya: apa sebenarnya GLN itu? Maklum, istilah ini memang relatif baru.


    Pengertian dan tujuan


    Gerakan Literasi Nasional (GLN) merupakan upaya pemerintah untuk memperkuat sinergi antarunit utama pelaku gerakan literasi dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di Indonesia.


    Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan budaya literasi pada ekosistem pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dalam rangka pembelajaran sepanjang hayat sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup.


    Pemerintah menyadari bahwa peningkatan literasi bangsa sulit berhasil tanpa melibatkan seluruh komponen bangsa. Pemerintah bersama pemangku kepentingan lain (perguruan tinggi dan lembaga pendidikan, organisasi sosial, pegiat literasi, orangtua, tokoh masyarakat, termasuk dunia usaha dan media massa) harus berbagi peran untuk bahu-membahu berkontribusi dalam setiap kegiatan literasi.


    Dikutip dari Panduan Gerakan Literasi Nasional, GLN merupakan gerakan nasional yang digagas oleh Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia untuk menyinkronkan seluruh program literasi yang sudah berjalan pada setiap utama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan penyinergian segenap potensi serta perluasan keterlibatan publik dalam pengembangan budaya literasi untuk meningkatkan indeks literasi nasional.


    Latar Belakang

    Gerakan ini dilatarbelakangi oleh hasil-hasil survei tentang keberliterasian dan indeks pembangunan manusia (IPM) di Indonesia yang tidak memuaskan. Perlu upaya lebih serius agar generasi muda Indonesia siap berperan aktif dalam kancah pergaulan global abad ke-21 di berbagai bidang demi kemajuan bangsa dan negara.


    Buku Panduan GLN mengutip beberapa data terkait. Data IPM yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB/United Nations Development Program (UNDP) misalnya menunjukkan bahwa IPM Indonesia pada tahun 2013 hanya berada di peringkat 108 dari 187 negara; jauh di bawah negara ASEAN lainnya.


    Survei lain tentang literasi yang dilakukan Central Connecticut State University pada tahun 2016 juga menempatkan Indonesia dalam posisi cukup memprihatinkan, yaitu urutan ke-60 dari 61 negara.


    Hasil survei Progamme for International Student Assessment (PISA) 2015 juga tak jauh berbeda. Indonesia berada di urutan ke-64 dari 72 negara. Selama kurun waktu 2012–2015, skor PISA untuk membaca hanya naik 1 poin dari 396 menjadi 397, sedangkan untuk sains naik dari 382 menjadi 403, dan skor matematika naik dari 375 menjadi 386.


    Melengkapi beberapa survei di atas, Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI)/Indonesia National Assessment Programme (INAP) yang mengukur kemampuan membaca, matematika, dan sains bagi anak sekolah dasar juga menghasilkan kesimpulan yang menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak Indonesia sangat lemah. Secara nasional, yang berada pada kategori kurang perbidang adalah: matematika (77,13%; membaca (46,83%); dan sains (73,61%).


    Prinsip, ranah, dan dimensi GLN


    Gerakan ini dilaksanakan secara berkesinambungan, terintegrasi, kolektif, dan menyeluruh (pada ranah keluarga, sekolah, dan masyarakat) (Kemendikbud, 2017:1-5).


    Fokus utama GLN adalah 6 aspek literasi dasar: baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, dan budaya & kewargaan. Pelaksanaannya berlangsung secara simultan pada tiga ranah pendidikan (sekolah, keluarga, dan masyarakat) melalui program yang dikenal sebagai Gerakan Literasi Sekolah, Gerakan Literasi Keluarga, dan Gerakan Literasi Masyarakat.


    Strategi GLN


    GLN tidak hanya berlangsung di sekolah, melainkan berjalan simultan dengan dua ranah pendidikan lain (keluarga dan masyarakat). Fokusnya mencakup 6 literasi dasar (baca-tulis, numerasi, sains, digital, finansial, dan budaya dan kewargaan).


    Agenda peningkatan literasi bangsa melalui GLN akan menempuh lima strategi utama. Kelima strategi tersebut adalah: kapasitas fasilitator, jumlah dan ragam sumber belajar bermutu, akses terhadap sumber belajar dan cakupan peserta belajar, pelibatan publik, serta tata kelola. Kelima strategi ini diterapkan di setiap ranah literasi dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing.


    Program dan kegiatan


    Sehubungan dengan hal tersebut, sejak 2017, Badan Bahasa selaku koordinator telah melaksanakan berbagai kegiatan, di antaranya: penajaman konsep GLN, diskusi kelompok terpumpun dengan pakar dan pegiat literasi, lokakarya penyusunan peta jalan, panduan, dan materi pendukung GLN, diskusi kelompok terpumpun dengan Kementerian/Lembaga, koordinasi dan sinkronisasi kegiatan lintas unit utama, pelatihan fasilitator GLN nasional dan regional, sosialisasi, pembinaan komunitas baca, dan pelatihan praktik baik literasi.


    Selain dapat mengakses langsung laman GLN sebagai pusat informasi seluk-beluk dan perkembangan serta sumber rujukan pelaksanaan berbagai programnya, pembaca dapat mengunduh beberapa referensi penting GLN berikut: Peta Jalan GLN; Modul dan Pedoman Pelatihan Faslitator GLN; Panduan GLN; Pedoman Evaluasi dan Penilaian GLN.


    Bagaimana beberhasilannya? Selain masih terlalu dini, mengukur keberhasilan GLN dengan satu instrumen uji lalu menarik kesimpulan umum tentu sulit dan rentan bias, mengingat banyaknya kegiatan dan program/kegiatan yang berlangsung pada berbagai ranah oleh unit yang beragam pula. Akan lebih bijaksana jika setiap evaluasi mengacu pada jenis kegiatan, tempat, dan waktu pelaksanaannya. Jadi, setiap unit pelaksana bertanggung jawab atas hasil dan capaian prorgam yang telah dilaksanakan.


    Namun demikian, hasil-hasil penelitian tentang tingkat literasi dan kemampuan pelajar Indonesia, misalnya oleh UNESCO atau OECD melalui PISA (Programme for International Student Assessment) misalnya merupakan informasi dan acuan penting untuk melihat potret capaian kinerja pelaksanaan GLN maupun pendidikan nasional secara umum.


    Catatan indeks literasi dari survei-survei tersebut merupakan input berharga dalam mengevaluasi ketepatan, efektivitas, dan efisiensi berbagai program kegiatan GLN terutama yang dilaksanakan oleh unit-unit kerja instansi pemerintah.


    Survei terbaru PISA


    Patut digaris bawahi bahwa indeks literasi pelajar Indonesia untuk membaca, matematika, dan sains dalam beberapa tahun terkahir cenderung stagnan dan masih berada di bawah rerata OECD. Studi PISA menilai 600.000 anak berusia 15 tahun dari 79 negara setiap tiga tahun sekali. Studi ini membandingkan kemampuan Matematika, Membaca, dan kinerja Sains dari tiap anak.


    Laporan hasil studi PISA 2018 yang dirilis pada Selasa (3/12/2019) menunjukkan bahwa untuk kategori kemampuan Membaca, Indonesia berada pada peringkat peringkat ke-74 dari 79 negara. Untuk kategori Matematika, Indonesia berada di peringkat ke-73 dengan skor rata-rata 379. Pada bidang Sains, Indonesia berada di peringkat ke-71, yakni dengan rata-rata skor 396.


    Penjelasan hasil survei PISA merinci bahwa di Indonesia hanya 30% peserta didik mencapai kemampuan level 2 dalam membaca, padahal rerata negara OECD adalah 77%. Untuk membaca di level 5, rerata negara OECD di 9% sedangkan Indonesia 0%. 


    Pada bidang Matematka, hanya sekitar 28% saja anak Indonesia yang mencapai level 2, sementara rerata negara OECD adalah 76%. Pada level 5, rerata negara OECD berada pada angka 11%, sedangkan Indonesia hanya 1%. 


    Untuk sains, jumlah siswa Indonesia yang mampu mencapai level 2 hanya 40%, jauh kalah dibandingkan rerata negara OECD yang berjumlah 78%. Tidak ada siswa Indonesia yang mencapai level 5, padahal rerata negara OECD mencapai 7%.


    Alarm keras peningkatan literasi/pendidikan


    Dibandingkan dengan hasil survei 2015, capaian tersebut mengalami penurunan. Pada survei tersebut, secara berturut-turut skor Membaca, Matematika, dan Sains adalah 397, 386, dan 403. Tragisnya, skor untuk Membaca mengalami penurunan terendah, bahkan lebih rencah dari skor tahun 2012 yaitu 396.


    Survei di atas memperlihatkan secara jelas posisi indeks literasi Indonesia di antara negara-negara berkembang. Namun lebih dari itu, data yang dihasilkanya sekaligus menerangkan kepada kita bahwa kemampuan ilmu-ilmu dasar peserta didik Indonesia sangat memprihatinkan. Bahkan untuk bidang kemampuan membaca (sebagai fondasi bagi literasi lain), anak-anak Indonesia masih cukup jauh tertinggal.  


    Mungkin agak berlebihan untuk mengatakan bahwa GLN telah gagal. Namun demikian, jika bercermin dari hasil survei di atas, sejauh ini berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam lingkup GLN tampaknya belum memberikan dampak signifkan bagi peningkatan indeks literasi nasional serta perbaikan mutu pendidikan secara umum.


    Karena baru berjalan sekitar dua tahun, alasan waktu mungkin masih masuk akal. Namun hasil survei terbaru PISA patut menjadi alarm dan peringatan keras bahwa masih banyak yang perlu kita perbaiki agar agenda peningkatan literasi bangsa melalui GLN tidak hanya sekadar slogan.