Tag: filosofi

  • Epiktetos di Hadapan Hidup yang Keos

    Epiktetos di Hadapan Hidup yang Keos

    Jika kau ingin Tuhan jadi menyenangkan bagimu, pandanglah Dia dengan mata orang-orang yang mencintai-Nya.

    –Jalaluddin Rumi

    Buku How to Be Free

    Dalam pleidoinya di hadapan seluruh warga Athena, Sokrates berkata kepada orang-orang yang ingin membuatnya dijatuhi hukuman mati, “Ketahuilah, jika kalian membunuhku, kalian tak akan menyakiti siapa-siapa kecuali diri kalian sendiri.” Pernyataannya terkesan retorik belaka, tapi sebenarnya Sokrates tidak sedang mengada-ada. Ia mengatakan sesuatu yang bersandar pada prinsip-prinsip hidup yang telah begitu lama ia uji. Bahkan, berjarak sekitar lima abad kemudian, Epiktetos mengembangkan prinsip-prinsip tersebut dan menjadikannya bagian penting stoikisme yang didirikan Zeno.


    Gagasan Epiktetos yang terkenal ialah pembedaan antara apa yang bergantung pada individu dan apa yang tidak bergantung pada individu. Bergantung pada individu berarti sepenuhnya bebas dikendalikan individu. Ia adalah pikiran–pengertiannya mencakup motivasi dan kehendak. Pikiranlah yang menimbang berbagai macam keadaan, menilainya, lalu menentukan keputusan untuk si individu. Dalam berpikir, setiap individu bebas mengendalikan pikirannya. Sebaliknya, yang tak bergantung pada individu adalah segala sesuatu di luar dirinya; hal-hal yang terjadi tanpa bisa ia kendalikan. Seseorang bisa saja dikhianati dan itu tak bisa ia cegah, tapi bagaimana sikapnya terhadap penghianatan tersebut, itu jelas seratus persen dalam pertimbangan dan keputusannya yang mandiri. Apakah ia menganggap penting atau tidak penting orang yang menghianatinya, itu sepenuhnya juga berada dalam kendali pikirannya.


    Dengan berpegang pada prinsip ini, Epiktetos berkata, “Sesungguhnya tak seorang pun akan menyakitimu tanpa persetujuanmu; kau hanya akan tersakiti jika kau berpikir kau disakiti.”


    Bagi Epiktetos pemahaman tentang pembedaan ini memiliki implikasi yang begitu penting. Ia sangat menentukan bagaimana manusia meraih kebebasan dan kedamaian hidupnya, serta bagaimana manusia dihajar ketidakbahagiaan dan frustrasi. Menurut Epiktetos, kebahagiaan berasal dari kebajikan, sementara ketidakbahagiaan dari keburukan. Sesuatu dinilai bajik karena ia pada dasarnya bermanfaat, misalnya keadilan, sementara sesuatu dinilai buruk karena ia pada dasarnya bermudarat, misalnya kezaliman. Sesuatu bermanfaat karena ia selaras dengan alam/kodrat, sementara sesuatu bermudarat karena ia menyimpang dari alam/kodrat. Untuk bisa selaras dengan alam/kodrat, manusia memerlukan kebijaksanaan. Sebaliknya, hidup yang menyimpang dari alam/kodrat merupakan akibat kebodohan. Baik kebijaksanaan maupun kebodohan, keduanya bergantung pada individu, persisnya pikirannya sendiri. Jadi, kebahagiaan dan ketidakbahagiaan, bagi Epiktetos sepenuhnya bergantung pada pikiran manusia, yang merupakan pusat pengendalian diri.


    Dalam ajaran Epiktetos dikenal juga nilai netral. Ia tidak baik dan tidak buruk sebab pada dasarnya ia tidak bermanfaat dan tidak bermudarat. Nilai inilah yang terletak pada segala hal yang tidak bergantung pada individu. Karena ia netral, apakah ia akan mendatangkan kebaikan atau keburukan bagi individu, itu tergantung sikap si individu terhadapnya. Dalam pengertian ini, bagi Epiktetos kekayaan/kemiskinan dan kedudukan tinggi/kedudukan rendah sejatinya bernilai netral. Alasannya: tak ada kepastian bahwa orang yang punya kekayaan atau jabatan tinggi akan menjadi baik/bermanfaat/bahagia; sebagaimana tak ada kepastian bahwa orang yang mengalami kemiskinan atau tanpa jabatan akan menjadi buruk/bermudarat/tidak (bisa) bahagia.


    Dengan kesadaran begini, bahwa segala sesuatu yang terjadi di luar kendalinya belum pasti mendatangkan kebaikan atau keburukan baginya, seseorang tidak akan menjadi pribadi yang mudah mengeluh, apalagi putus asa. Ia tidak akan menyalahkan siapa-siapa, apalagi Dewa, sebab atas apa pun yang terjadi, ia sepenuhnya bebas untuk melakukan penilaian dan mengambil keputusan sebagai sikap. Bagi Epiktetos prinsip-prinsip inilah yang akan membebaskan manusia.


    Tapi, kau mungkin akan bilang: kekuasaan bisa membuat seseorang mengatur orang lain begini dan begitu, sementara kekayaan bisa membuat seseorang membeli apa saja! Bukankah mereka juga menjadi bebas? Ya, mungkin itu benar. Tapi, bukan pengertian demikian yang dimaksud Epiktetos terkait kebebasan.


    Sekalipun seseorang punya jabatan sangat tinggi, ia tak bisa memastikan bahwa kekuasaan itu akan selalu ada dalam genggamannya, apalagi jika ia tak sibuk memikirkan dan melakukan berbagai cara untuk mempertahankannya. Pun demikian: sekaya-kayanya seseorang, ia tak bisa memastikan bahwa hartanya akan selalu banyak, apalagi jika ia berhenti memikirkan atau mengurus harta tersebut.


    Dalam ajaran Epiktetos kebebasan itu melibatkan dua pengertian. Pertama, pikiran sepenuhnya berada dalam kendali manusia. Pikiran tak bisa dikudeta, tak bisa diatur-atur, kecuali pikiran itu sendiri yang membiarkan dirinya diperdaya–katakanlah karena kebodohan. Pun demikian: pikiran tak bisa dirampok, tak bisa dibegal, atau dibikin bangkrut, kecuali pikiran itu sendiri yang memilih menjadi lalai.


    Karena pikiran itu sejatinya bebas untuk menentukan dirinya sendiri, manusia sepenuhnya bisa mengarahkannya untuk meraih kebebasan dalam pengertian kedua, yaitu bebas dari belenggu-belenggu batin, seperti kekecewaan, kecemasan, kedengkian, kemarahan, dan kesedihan. Jadi, pikiran memberi manusia kebebasan untuk mencapai kebebasan dari emosi-emosi negatif. Dalam pengertian inilah Epiktetos menegaskan: mengendalikan pikiran adalah “satu-satunya cara untuk meraih kebebasan dan kebahagiaan”. Di luar kendali pikiran, kebahagiaan itu “sama sekali bukan hal yang nyata”, malah tak jarang berujung pada kekecewaan, kesedihan, kedengkian, frustrasi, atau bahkan “perbudakan”.


    Nah, penting untuk diperhatikan: Epiktetos sangat menjunjung rasio, tapi ia lebih memilih diksi ‘kebijaksanaan’ ketimbang ‘kecerdasan’. Kecerdasan itu baru sebagian dari kebijaksanaan. Ia masih netral: bisa digunakan untuk tujuan yang baik dan buruk. Sementara itu, kebijaksanaan adalah kecerdasan yang telah berorientasi pada kebaikan dan keindahan. Kebijaksanaan inilah yang dalam peradaban Yunani Kuno dikenal sebagai sophia, yang bergandengan dengan philos (cinta) menjadi philosophia.


    Selaras dengan Alam

    Filsafat Yunani Kuno secara umum berorientasi pada kosmos (alam semesta). Mula-mula manusia takjub dan bertanya-tanya tentang alam. Bagaimana alam ini tercipta, bagaimana ia beroperasi, dan seterusnya. Lalu, pada gilirannya manusia pun sadar bahwa manusia merupakan bagian integral dari alam; untuk bisa hidup dengan baik manusia mesti mengenal (hukum) alam dengan baik pula, lalu menyelaraskan segala sikapnya dengan alam.


    Dalilnya sederhana: semua yang ada di alam raya pada dasarnya tunduk pada hukum alam. Selaras dengan alam berarti kebaikan; menyimpang dari alam berarti keburukan. Semua makhluk, termasuk manusia, tak bisa lepas dari hukum alam. Manusia memang bisa seenaknya memilih tidak makan dan tidak tidur sampai berhari-hari, tapi konsekuensi buruknya tak bisa ia elakkan. Ia akan lapar, ngantuk, sakit, atau bahkan mati.


    Bagi Epiktetos, penyelarasan ini menjadi tujuan utama pengendalian pikiran. Katanya, “Jangan pikirkan mengapa [kondisi menjadi keos] seperti itu, tetapi pikirkan apa yang harus kau lakukan untuk menjaga agar kehendakmu selaras dengan alam.”


    Karena manusia terdiri dari raga dan jiwa, maka hukum alam itu pastinya juga berlaku pada jiwa. Sebagaimana raga manusia akan celaka jika ia tidak tunduk pada hukum alam, jiwa manusia pun demikian. Sokrates membandingkan jiwa yang sehat dan bahagia dengan raga yang sehat dan segar. Ketika raga manusia mengalami ketidakseimbangan–mungkin karena satu atau beberapa fungsi organnya bermasalah–maka ia akan sakit. Begitu juga jiwa, ketika ia mengalami ketidakseimbangan–katakanlah karena hatinya terjangkit dengki dan benci–maka ia pun akan sakit.


    Jadi, keseimbangan adalah kebaikan; adalah keindahan; adalah kebahagiaan. Dan sebaliknya. Begitu hukum alamnya.


    Nah, prinsip ini selaras dengan istilah ‘kosmos’ yang mulanya berasal dari bahasa Yunani Kuno. Secara harfiah kosmos bermakna ‘ketertiban’ atau ‘susunan yang bagus/teratur’. Dari istilah ini lalu diturunkan istilah ‘kosmetike’ yang berarti ‘seni berpakaian dan menghias’. Dalam bahasa Inggris istilah ‘kosmos’ kemudian menjadi ‘cosmos’ dan bermakna ‘alam semesta’, sementara ‘kosmetike’ menjadi ‘cosmetic’ dan bermakna ‘alat/bahan kecantikan’.


    Hewan Rasional

    Untuk bisa hidup selaras dengan alam, selain pemahaman tentang alam, manusia juga butuh pemahaman tentang dirinya sendiri, sehingga ia bisa mengarahkan sikapnya, potensi-potensi kodrati dalam dirinya, untuk selaras dengan alam. Maka, keselarasan merupakan hasil pengendalian diri. Karena keselarasan berpangkal pada pemahaman, maka pengendalian diri berhubungan erat dengan soal pikiran. Dengan kata lain, hidup yang selaras dengan alam berarti “menjadikan nalar sebagai prinsip yang menentukan dalam segala hal”.


    Peran nalar dalam hidup manusia memang krusial. Bagi Aristoteles, pembeda utama manusia dari hewan ialah nalarnya. Karena itu ia menyebut manusia sebagai hewan rasional. Di sisi lain, bagi Sokrates, “dalam diri kita semua, bahkan dalam pribadi setiap manusia yang baik, terdapat sifat dasar binatang buas yang melanggar hukum”. Ia merupakan prinsip buruk yang mewakili nafsu. Menurut Sokrates lagi, “sebaiknya prinsip rasional, yang bijaksana dan memperhatikan seluruh jiwa itu, memimpin, dan prinsip yang sangat bernafsu dan penuh semangat menjadi rakyat dan bersekutu”. Jika demikian, “begitu prinsip yang lebih baik itu bisa mengendalikan prinsip yang lebih buruk, maka seseorang bisa dikatakan menjadi tuan bagi dirinya sendiri”.


    Jadi, (dominasi) nalar membuat manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Karena setiap manusia diberkahi nalar oleh Dewa, maka setiap manusia sebenarnya adalah pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan makhluk-makhluk lain yang tak rasional. Tanpa nalar, manusia akan kehilangan keutamaannya sebagai manusia dan tak bisa menyelaraskan hidup dengan alam. Jiwa manusia adalah rasio. Jiwa kosmos adalah hukum alam/rasio universal.


    Individualistik

    Di permukaan, ajaran Epiktetos tampak sangat individualistik. Ia mendorong manusia untuk “membatasi kebaikan dan manfaat pada keutamaan dan kearifan yang tergantung pada pikiran” sendiri, hal satu-satunya yang berada dalam kendali individu. Di luar itu–yang mencakup orang lain–seorang individu tak punya kendali absolut atasnya. Ia bisa saja melakukan sesuatu terhadap orang lain, tapi apakah perlakuan itu direspon baik atau tidak, itu di luar kendalinya. Jika orang lain berlaku tak sesuai keinginannya, lalu segalanya kacau-balau, ia paling-paling hanya bisa bilang, “Itu bukan urusanku.” Di sini ia harus legawa menerima keadaan atau bersikap bodo amat terhadap segala urusan yang berada di luar kendalinya. Kalau tidak, kalau ia tetap ngotot menuntut segala yang eksternal dari dirinya sesuai dengan kemauannya, ia akan frustrasi.


    Meski ajaran Epiktetos terkesan individualistik dan tak memikirkan orang lain, sebenarnya implikasinya sangat berhubungan dengan kebaikan publik. Epiktetos berkata, “Cukuplah jika setiap orang melakukan pekerjaan masing-masing. Dan, jika kau menyediakan bagi negaramu satu lagi warga negara terpercaya dan terhormat, bukankah kau memberikan manfaat kepadanya?”


    Ukuran keutamaan dalam ajaran Epiktetos ialah keadilan. Manusia yang utama ialah manusia yang adil. Epiktetos berpikir bahwa tidak mungkin semua orang mendapat peran menjadi orang kaya, atau orang rupawan, atau orang berpangkat, atau lainnya. Perbedaan adalah kemutlakan dalam kosmos. Meski demikian, setiap manusia diberkahi nalar, sehingga pada prinsipnya ia adalah pemimpin. Ia punya kesempatan dan potensi yang sama untuk memainkan perannya dengan baik, yaitu dengan adil.


    Menjadi adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya; memperlakukan sesuatu sesuai kodratnya; tidak mengurangi dan tidak melebihkan; dan itu pada dasarnya adalah syarat bagi sikap hidup yang selaras dengan alam. Hukum alam itu sendiri sebenarnya keadilan mutlak. Ketika manusia menjadi adil, ia menyelaraskan diri dengan alam. Ketika keselarasan tercipta, secara alamiah kedamaian pun akan tumbuh. Begitulah kodratnya. Persis seperti makan mendatangkan kenyang, mengindra keindahan mendatangkan senang, dan seterusnya. Kosmos itu tertata rapi oleh hukum alamnya. Segala yang ada di dalamnya, baik dalam dimensi lahir maupun dimensi batin, mesti tunduk pada hukum alam itu. Pun hewan rasional.


    Maka, hanya dengan menjadi adil saja manusia bisa menjadi rahmat bagi sekalian alam. Manusia yang adil minimal tidak akan merusak, atau mengacau, atau mengganggu apa dan siapa pun di sekitarnya. Manusia yang adil memahami perannya di muka bumi, bagaimana tanggung jawab dan kewajiban peran tersebut, dan melakoninya dengan sebaik-baik kemampuannya. Ketika ia memainkan perannya dengan adil, yaitu sesuai kodratnya, ketika itulah otomatis ia menjadi rahmat bagi orang lain, entah itu teman (saat ia berperan sebagai teman), pasangan (saat ia menjadi pasangan), anak (saat ia menjadi orang tua), orang tua (saat ia menjadi anak), tetangga (saat ia menjadi tetangga), dan seterusnya. Di sinilah hubungan ajaran Epiktetos dengan kebaikan publik.


    Dan perlu digarisbawahi, usaha yang memberi manfaat bagi orang lain itu pada dasarnya bukan didorong oleh motivasi untuk menyenangkan orang lain–yang cenderung altruistik–melainkan oleh motivasi untuk menjadi pribadi yang adil–yang penekanannya terletak pada kepentingan diri sendiri. Jika seseorang berpatok pada (kemauan) orang lain, ketika orang-orang menyukai gaya hidup berfoya-foya, misalnya, maka ia akan meninggalkan keadilan. Sebaliknya, orang yang memang sungguh-sungguh ingin menjadi adil akan selalu berusaha adil, tak peduli apa pun kemauan orang lain di sekitarnya. Ia berusaha adil karena ia tahu adil itu baik untuk dirinya. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri ketimbang orang lain.


    Anakmu Bukanlah Anakmu

    Implikasi lain dari ajaran Epiktetos adalah pengenalan ilusi rasa memiliki. Karena yang sepenuhnya dalam kendali individu hanyalah akalnya sendiri, maka segala yang di luar kendalinya sejatinya bukanlah miliknya, termasuk orang-orang yang ia pikir ia miliki, seperti sahabat, pasangan, anak, pengikut, dan lainnya. Ia hanya akan lelah dan frustrasi jika berharap dan memaksakan mereka selalu sesuai dengan kemauannya, hanya karena ia pikir ia memiliki mereka.


    Untuk lebih memperjelas implikasi ini, mari kita rujuk sebuah puisi dalam buku The Prophet karya Kahlil Gibran yang menggambarkan prinsip ajaran Epiktetos dengan tepat. Penggalannya seperti berikut. “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra-putri kehidupan. Mereka datang melaluimu, tapi tidak berasal darimu. Walaupun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu. Kau boleh memberi mereka cintamu, tapi bukan pikiranmu, karena mereka memiliki pikiran sendiri.”


    Sebelumnya telah dibahas bahwa nalar (pikiran) adalah anugerah yang menjadikan setiap manusia sebagai pemimpin di muka bumi. Karena kepemimpinan sejajar dengan kedaulatan/kemandirian/kebebasan, maka setiap manusia yang sudah akil balig sejatinya akan condong pada kedaulatan/kemandirian/kebebasan. Karena definisi ‘setiap manusia’ juga mencakup siapa saja selain diri seorang individu, maka kedaulatan itu sejatinya juga sama-sama dimiliki oleh anak, pasangan, dan sahabat-sahabat si individu. Dengan berpegang pada prinsip begini, setiap individu pada akhirnya akan menemukan bahwa yang benar-benar ia miliki sebenarnya hanyalah dirinya saja, persisnya lagi pikirannya sendiri.


    Bagi Epiktetos, dengan menyadari mana yang sepenuhnya dimiliki dan mana yang tidak, seseorang tidak akan memandang kehilangan–peristiwa yang di luar kontrol manusia–sebagai peristiwa yang menyiksa. Ketika mengetahui anak atau pasangan seseorang meninggal, kita dengan tenang dapat berkata, “Ya, itulah hidup. Satu per satu manusia pasti mati. Masa berganti, generasi pun berubah. Semua hanya soal waktu.” Tapi, jika kematian itu terjadi pada keluarga sendiri–orang-orang yang kita pikir kita miliki–kita biasanya malah menjadi tak rasional. Padahal, menurut Epiktetos, “Kita harus ingat bagaimana perasaan kita ketika kita mendengar ini [kematian] terjadi pada orang lain.” Karena itu, “Ketika kau mencium istri atau anakmu yang masih kecil, katakan bahwa kau mencium seorang manusia. Maka, jika salah seorang dari mereka meninggal, kau tidak akan berduka.”


    Sumber dari banyak kefrustrasian manusia ialah ilusi rasa memiliki. Ia pikir ia bisa mengendalikan orang-orang yang sebenarnya memiliki kedaulatan mereka sendiri, yang berarti berada di luar kendalinya, sehingga ia akhirnya kecewa, lelah, frustrasi, dan seterusnya.


    Sampai di sini memang ajaran Epiktetos tampak semakin muram, seolah ia menganjurkan hidup tanpa emosi. Namun, sebenarnya tidak persis demikian. Ini lebih ke masalah letak penekanan saja. Meninggikan rasio tidak sama dengan melenyapkan emosi, sebagaimana mengangkat seseorang menjadi raja tidak berarti membunuh orang-orang lainnya yang bukan raja.


    Filsafat sebagai Praktik Cara Hidup

    Bagi Epiktetos, keutamaan filsafat terletak pada praktik, bukan teori. Belajar filsafat bukan ditujukan untuk sekadar bisa tahu macam-macam teori, tapi terutama untuk bisa menerapkan cara hidup yang bijaksana dalam keseharian. Dalam filsafat, teori digunakan untuk menjelaskan kenapa manusia harus berupaya bijaksana. Ia menopang praktik. Dengan praktik, filsafat menjadi manfaat.


    Karena praktik diutamakan, filsafat menjadi urusan yang tidak gampang–minimal tidak segampang berteori. Kesulitan terbesar terletak pada penjinakan nafsu yang condong pada kenikmatan lahiriah; yang menjadi sumber keinginan-keinginan tak terbatas. Bagi Epiktetos, kenikmatan lahiriah cenderung bertentangan dengan kenikmatan batiniah, yang di dalamnya mencakup kebebasan dan kedamaian hasil mempraktikkan filsafat. Ia mengingatkan, “Tidak mudah, yakinlah, untuk menjaga agar kehendakmu selaras dengan alam dan juga mempertahankan hal-hal lahiriah. Jika kau peduli pada salah satunya [‘mempertahankan hal-hal lahiriah’/kenikmatan lahiriah], kau pasti akan mengabaikan yang satu lagi [‘selaras dengan alam’/kenikmatan batiniah].”


    Ketika mempelajari dan mempraktikkan filsafat sebagai cara hidup, “Semua perhatian harus terarah pada pikiranmu.” Konsekuensi ini sangat berat: “Kau harus tidak tidur, bekerja sangat keras, menyingkir dari teman-teman dan keluarga, tidak dihargai oleh budak muda, dicemooh oleh orang di jalanan, dan semakin buruk dalam hal jabatan, atau di mata hukum, di mana saja. Pikirkan semua ini, lalu lihat apakah kau ingin menukarnya dengan ketenangan, kebebasan, dan ketenteraman. Jika tidak, jangan mendekati filsafat”.


    Hidup Begitu Indah

    Orang yang berpikir bahwa “kematian bukanlah sesuatu yang mengerikan”–”yang mengerikan adalah pendapat bahwa kematian itu mengerikan”–adalah orang yang tak akan mengatakan Tuhan sebagai Zat yang kejam, tidak adil, iseng, dan seterusnya. Demikian pula Epiktetos.


    Jika ia ditanya kenapa sih manusia diciptakan oleh Dewa, barangkali ia akan menjawab: karena Dewa ingin manusia mengalami kebaikan-Nya, limpahan nikmat-Nya. Bukankah Dewa itu Maha Baik? Tidak mungkin Dewa punya tujuan buruk dalam penciptaan manusia dan kehidupan di alam semesta.


    Masalahnya, manusia hanya bisa mengenal nikmat jika ia mengenal derita, sebagaimana terhadap banyak hal lainnya: panjang dan pendek, siang dan malam, cantik dan jelek, muda dan tua, luang dan sibuk, kaya dan miskin, hidup dan mati, dan seterusnya. Bukankah manusia baru menyadari nikmat sehat setelah kesehatan itu hilang dan berganti menjadi sakit? Begitu juga terhadap nikmat-nikmat lainnya: ia baru disadari setelah ia menghilang. Manusia kadang melupakan yang sebagian (karena telah terlalu terbiasa; karena begitu banyak) dan berlarut-larut dengan sebagian lainnya.


    Epiktetos berkata, “Karena kau memiliki kekuatan ini [pikiran] secara bebas dan sepenuhnya milikmu, mengapa kau tidak menggunakannya dan menyadari hadiah-hadiah apa yang telah kau terima dan dari penderma mana kau menerimanya, alih-alih duduk diliputi duka dan merintih?”


    Seperti Dea Anugrah, Epiktetos pun pasti meyakini bahwa “hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.” Jika kau mendengar “hidup ini indah” dari lagu Ahmad Dhani, mungkin kau akan sinis: “Ya, itu kan bagi Ahmad Dhani. Hidupnya enak. Coba dong jadi aku (yang sangat malang ini)!”


    Nah, jika demikian, kita mestinya takjub sebab ajaran tentang kebebasan ini, cara pandang hidup-begitu-indah ini lahir dari pengalaman dan pikiran seorang mantan budak. Ya, Epiktetos menjalani masa kecil hingga mudanya sebagai budak–dalam makna harfiah! Ia juga memiliki kaki yang pincang serta hidup sambil menanggung penyakit untuk waktu yang lama. Meski menjadi budak dan dihinggapi penyakit secara lahiriah, kau tahu, ia jelas merdeka dan sehat secara batiniah. Dan itu yang terpenting. “Sesungguhnya pikiran adalah kita.”


    Yang Masuk Akal, Yang Berumur Panjang

    Bagi Hegel, keseluruhan realitas bersifat rasional dan disebut akal dunia. Akal dunia tercermin dalam sejarah pemikiran. Ia dinamis dan diilustrasikan seperti sungai yang terus mengalir, yang alirannya dibentuk oleh lekukan-lekukan sepanjang sungai; pun bebatuan di dalamnya. Aliran sungai adalah gagasan-gagasan yang terus mengkritisi dirinya sendiri–pemikiran lama (tesis) vs pemikiran baru (antitesis)–sementara lekukan dan bebatuannya adalah dasar kesadaran manusia: konteks sejarah setiap pemikiran itu. Polanya selalu sama; prosesnya semakin lama semakin menuju rasionalitas yang semakin besar. Argumen-argumen yang lemah dalam suatu pemikiran akan tersisihkan lewat seleksi dialektis sejarah pemikiran, dan hanya menyisakan argumen-argumennya yang rasional saja untuk terus mengalir (dan kembali diuji). Dengan kata lain, gagasan-gagasan besar selalu menghadapi tantangan gagasan-gagasan baru di sepanjang masa, dan “hanya yang masuk akallah yang akan berumur panjang.”


    Nah, boleh dibilang, ajaran Epiktetos masih saja relevan sampai sekarang. Ia berakar pada Sokrates (w. 399 SM) dan kian berkembang pada masa Epiktetos (w. 135). Pada Abad Pertengahan (500–1500) ajaran Epiktetos diadopsi oleh otoritas Kristen sebagai salah satu panduan hidup. Lalu, yang terbaru, pada 2016 ia mengalami reinkarnasi menjadi buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck karya Mark Manson, yang dalam waktu singkat menjadi mega best-seller di seluruh dunia.


    buku The Subtle Art of Not Giving a F*ck karya Mark Manson

    Jika kita perhatikan dengan saksama, sebetulnya ajaran Epiktetos juga selaras–sepenuhnya atau sebagian besar–dengan banyak ajaran cara hidup lainnya sepanjang masa, baik dalam model agama yang dogmatik maupun dalam model filsafat yang kontemplatif. Di sana selalu ditemukan anjuran-anjuran kepada keseimbangan, pengendalian diri, keadilan, kesederhanaan, ketertiban, kerendahhatian, keikhlasan, kesyukuran, kesabaran, dan seterusnya. Agama memerintahkan, filsafat menjelaskan. Semuanya sama-sama bermuara pada kebaikan manusia. Jika ajaran tersebut kita dapatkan dalam model agama, yaitu berupa perintah Tuhan Yang Maha Besar, tidak berarti bahwa kita harus melaksanakannya untuk kebaikan Tuhan. Zat yang sempurna tak butuh apa-apa lagi bagi kebesaran-Nya yang absolut. Maka, pelaksanaan ajaran tentang keselarasan hidup itu sudah pasti untuk kebaikan pelaksananya sendiri. Bukankah hanya dalam keselarasan hidup saja jiwa manusia bisa sehat–damai, bahagia?


    Catatan Akhir

    Seperti Sokrates, Epiktetos sebenarnya tidak menuliskan ajarannya. Ia memang mengajarkan filsafat secara tatap muka, tapi ia tidak menulis. Buku Encheiridion dan Discourses yang sering dirujuk sebagai karyanya merupakan catatan muridnya, Arian, tentang ajaran Epiktetos. Semasa menjadi budak, Epiktetos telah dikenal masyarakat sebagai pribadi yang bijak. Karena itu, setelah kemerdekaannya orang-orang berdatangan untuk belajar kepadanya.


    Bisa dibilang, Epiktetos hanya berceramah kepada orang-orang yang sungguh-sungguh ingin belajar filsafat dengannya. Ia tak memaksakan ajarannya kepada siapa pun yang memang tidak berminat. Ia terlalu bodo amat untuk itu. Ia juga tak mencari pengakuan, apalagi puja-puji orang lain. Ia mengajarkan filsafat karena orang-orang ingin belajar dengannya; karena ia menyadari tanggung jawab untuk berbagi kebaikan. Di hadapan murid-muridnya, ia pun sadar bahwa ajarannya akan selalu punya kemungkinan diragukan, dikritik, disalahpahami, ditolak, atau bahkan dicemooh, dan itu semua di luar kendalinya. Jika gagasan-gagasannya bisa menjadi bahan pertimbangan bagi sejumlah orang, ia tentu akan bahagia. Tapi, kalaupun tidak, ia tentu akan tetap bahagia. Ia akan tetap damai dan terus menjadi dirinya sendiri tanpa ragu. Sebab Epiktetos adalah Epiktetos. Ia selalu cukup dengan dirinya sendiri.


    Seperti yang telah ia bilang, “Ke mana pun aku pergi, aku akan baik-baik saja, karena aku sudah baik-baik saja di sini–bukan karena tempatnya, tetapi sebagai akibat dari prinsip-prinsipku, dan aku akan membawa prinsip-prinsip itu bersamaku. Tak seorang pun bisa merampas prinsip-prinsip itu dariku; mereka adalah harta milikku satu-satunya, yang tidak bisa dipindahkan dan cukup bagiku di mana pun aku berada dan apa pun yang kulakukan.”


    REFERENSI


    Epiktetos. 2021. How to Be Free: Sebuah Panduan Klasik Hidup Stoik. Diterjemahkan Ingrid Nimpoeno dari How to Be Free: An Ancient Guide to the Stoic Life. Jakarta: KPG.


    Plato. 2019. Apologia Socrates. Diterjemahkan Atollah Renanda Yafi dari Plato’s Apology of Socrates. Yogyakarta: Basabasi.


    Plato. 2021. Republik. Diterjemahkan Sylvester G. Sukur dari The Republic. Yogyakarta: Narasi.


  • GOSIP, CINTA, IMAN

    GOSIP, CINTA, IMAN

    Idealisme vs Materialisme

    Tanpa pikiran, manusia tidak bisa menyadari bahwa ia dan alam semesta ada. Bagi manusia yang tanpa pikiran, (hakikat) kehidupan itu tidak ada. Nah, pikiran terletak di otak. Tanpa otak, pikiran tidak ada. Tapi, tanpa pikiran, otak tak ada gunanya juga–hanya seonggok daging belaka. Hanya pikiran yang bisa menyadari bahwa manusia punya otak. Pertanyaannya: lebih esensial mana antara pikiran dan otak? Pikiran berhubungan erat dengan jiwa (sesuatu yang abstrak), sementara otak berhubungan erat dengan materi (sesuatu yang konkret). Apakah hakikat manusia itu jiwanya? Atau, tubuh/fisiknya? Perdebatan semacam ini merupakan refleksi persaingan paham antara idealisme dan materialisme. Idealisme mengutamakan ide sebagai hakikat realitas, sementara materialisme mengutamakan materi. Keduanya memiliki kebenaran masing-masing, dan tidak harus dipandang menggunakan paradigma kebenaran tunggal. Artinya, jika idealisme benar, bukan berarti materialisme pasti salah seluruhnya. Pun sebaliknya.

    Adalah George Berkeley, Uskup Katolik Anglikan Irlandia, tokoh idealisme pertama dalam pengertian modern dan mencuri perhatian jagat filsafat pada paruh pertama abad ke-18. Ia dikenal sebagai filsuf yang sangat kritis terhadap materialisme. Filsafatnya berangkat dari empirisme dan berujung pada idealisme. Bagi Berkeley, pengetahuan memang diperoleh pertama-tama melalui pengalaman indrawi, namun informasi-informasi yang dikenali oleh sejumlah indra sifatnya masih mentah; mereka baru memiliki makna setelah dipahami oleh pikiran. Pikiran mendapat pemahaman melalui penghubungan satu informasi dengan informasi-informasi lainnya. Dengan kata lain, kumpulan informasi mentah tersebut harus diolah dan dicerna dulu sebelum menjadi pengetahuan. Nah, karena yang mengolah dan mencerna itu semua adalah pikiran, maka pikiran memainkan peranan utama. Tanpa kerja pikiran, informasi-informasi yang diserap panca indra tidak akan ada artinya–pun tidak berguna. Di sinilah argumen kunci Berkeley.

    Implikasi dari pandangan Berkeley adalah penumpuan kenyataan pada pikiran manusia (selaku subjek)–bukan pada benda-benda (selaku objek). Dunia dan kehidupan hanya ada dalam kesadaran manusia. Dengan kata lain, segala sesuatu dalam kenyataan bergantung pada pikiran manusia. Karena pikiran manusia berawal dari penyerapan indra (baca: pengalaman empiris), pikiran itu menjadi sinonim bagi persepsi. Nah, persepsi itu sendiri mengandung konotasi relativitas dan subjektivitas. Dan, memang demikianlah prinsipnya. Karena itu pula filsafat Berkeley kemudian dikenal sebagai idealisme subjektif.

    Jika kita bertanya tentang apa itu hidup, jawaban masing-masing orang pasti berbeda. Misalnya antara muslim dan nonmuslim, atau ateis; antara bangsa satu dan lainnya; antara kaum kaya dan kaum miskin, antara manusia kiwari dan bahela, dan seterusnya. Begitu pula terhadap pertanyaan apa itu belajar, apa itu bekerja, dan segala lainnya. Perbedaan-perbedaan pikiran itu tidak hanya bersifat variatif, tapi kadang bisa juga kontradiktif. Dalam pikiran yang satu agama bisa dianggap menguatkan manusia, sementara dalam pikiran lainnya agama bisa dianggap melemahkan manusia. Dalam pikiran yang satu manusia dapat dianggap pada dasarnya bersifat baik, tapi dalam pikiran lainnya manusia dapat dianggap pada dasarnya bersifat jahat. Hebatnya, setiap pikiran itu bisa menunjukkan bukti dan landasan argumen masing-masing secara meyakinkan. Begitulah idealisme subjektif. Setiap manusia memandang dunia secara subjektif, dan mereka menjalani hidup dengan pegangan persepsi mereka masing-masing dalam kepala.

    Opini vs Fakta

    Jika kita mencoba menahan diri sejenak, lalu dengan tenang merenungkan kapasitas kita dalam memperoleh pengetahuan, tentu kita harus dengan rendah hati mengakui keterbatasan-keterbatasan berikut. Pertama, realitas itu kompleks dan tidak bisa direduksi menjadi sederhana; sementara dalam mempersepsi sesuatu, kita selalu tidak mempunyai sudut pandang yang utuh. Kita selalu memandang sesuatu dari sudut pandang-sudut pandang tertentu saja. Kadang tidak berimbang. Lalu, sebagian yang kita tahu itu pun sebenarnya belum tentu sahih. Selalu ada kemungkinan terjadi bias dalam usaha kita mempersepsi/menalar sesuatu. Apalagi jika di hati ada tendensi dan emosi yang berkepentingan pula.

    Kemudian, kita perlu juga mengingat kapasitas bahasa sebagai medium perantara antara pikiran satu dan lainnya. Sebagaimana akal dan indra memiliki banyak kelemahan, bahasa pun demikian–bisa dalam arti tak mampu memuat segenap makna dengan utuh (sebagian makna memang tak bisa dijelaskan oleh kata-kata), atau bisa dalam arti berpotensi membiaskan informasi tanpa kita sadari. Dengan demikian, pengetahuan yang kita peroleh lewat bahasa (baik membaca maupun mendengar) juga mengandung banyak kelemahan.

    Nah, di hadapan segala kelemahan kita untuk mengetahui kenyataan, kita mungkin akan teringat pada godam Nietzsche yang garang: “Tidak ada kenyataan. Yang ada hanyalah interpretasi.” (1968: 267)

    Kalau kita mau bersetuju dengan landasan berpikir begini, maka konsekuensinya jadi jelas: kehidupan ini adalah apa yang kita pikirkan, sementara pikiran adalah kata lain dari rangkaian interpretasi. Apa yang kita lihat adalah perspektif dan apa yang kita dengar adalah opini dan kata-kata. Dalam pandangan Kantian juga dikenal paham yang senada: kita tak bisa mengetahui nomena (objek pada dirinya sendiri, das ding an sich); yang bisa kita ketahui hanyalah fenomena (penampakan objek).

    Jika kita memandang kenyataan hidup sebagai misteri yang penuh teka-teki, maka pikiran yang menjadi semesta tempat ia berusaha dipahami (baca: dihidupkan) adalah puzzle yang disusun dari kepingan-kepingan interpretasi. Sebagian kepingan interpretasi inilah yang kadang mengandung eror dan melahirkan gosip, hoax, fitnah, dan sebagainya. Kadang, interpretasi yang menyimpang itu memang terjadi secara tidak disengaja. Tapi, di waktu lain, bisa jadi sebaliknya. Interpretasi sengaja disuguhkan ke orang lain atau publik secara menyimpang, terutama melalui penyembunyian sebagian informasi untuk menonjolkan sebagian informasi lainnya saja. Atau, dengan cara mencocok-cocokkan sejumlah informasi untuk tujuan yang sudah ditentukan sejak mula. Kita biasa mengenal praktik rekayasa ini sebagai framing atau “penggiringan opini”.

    Di sisi lain, keterbatasan ini pula yang menyebabkan ilmu pengetahuan dinamis. Dari waktu ke waktu penelitian (baca: pemikiran) yang satu berinteraksi dengan penelitian-penelitian lainnya–melengkapi, menegaskan, mengoreksi, membantah, merobohkan. Pengetahuan manusia tidak pernah utuh–tidak pernah final.

    Dante Alighieri ♥ Beatrice Portinari

    Suatu hari pada 1274 Dante dibawa ayahnya ke rumah keluarga Portinari untuk menghadiri suatu pesta. Di sana ia untuk pertama kalinya melihat anak gadis Portinari yang menawan hati. Itu merupakan peristiwa dahsyat yang tak pernah bisa ia lupakan selamanya. Dua puluh tahun kemudian Dante menerbitkan buku La Vita Nouva yang didedikasikannya khusus untuk Beatrice–nama gadis pujaan hatinya itu. Di sana Dante mengaku bahwa sejak pandangan pertama ia telah jatuh cinta pada Beatrice. Padahal, hari itu mereka baru berusia sembilan dan delapan tahun. Masih bocah.

    Sulit dipercaya, memang. Apalagi Dante terus mencintai Beatrice meski setelah pertemuan pertama itu mereka baru berjumpa kembali sekitar sembilan tahun kemudian. Itu pun hanya pertemuan singkat di tepi sungai Arno, sebagaimana dua pertemuan lainnya di Florence. Hanya empat pertemuan itu pengalaman Dante melihat Beatrice, sebelum si gadis mati muda pada usia 24 tahun. Meski akhirnya Dante menikah dengan perempuan lain, Beatrice senantiasa menginspirasinya sepanjang hidup. Beatrice adalah cinta sejati Dante–begitulah orang-orang kemudian menceritakannya. Bahkan, dalam magnum opusnya La Commedia, Dante menggambarkan Beatrice sebagai bidadari yang memandu perjalanannya di surga.

    Kahlil Gibran ♥ May Ziadah

    Bisakah kau membayangkan dua sejoli yang saling mencintai tanpa pernah sekali pun bertatap muka? Aneh, memang, tapi itu terjadi pada Kahlil Gibran dan May Ziadah. Kedua penulis ini sama-sama berasal dari Lebanon, tapi ketika kisah cinta mereka terjadi, Gibran sudah tinggal di Amerika Serikat dan menjadi penyair sukses, sementara May tinggal di Mesir dan menjadi sastrawan ternama pula. Kisah LDR mereka yang terpisah jauh oleh jarak antara Kairo (Timur) dan New York (Barat) ini gilanya bertahan lama pula. Mereka menjalin komunikasi selama kurang lebih sembilan belas tahun (1912–1931/tahun kematian Gibran). Padahal, masa itu jangankan fitur panggilan video, teknologi telepon biasa saja belum menjadi peranti yang umum digunakan seperti sekarang. Lalu, bagaimana cinta mereka bisa langgeng?

    Sebagai sesama pemikir, hubungan mereka mulanya terjadi dalam komunikasi tukar-menukar pendapat saja. Mereka secara berkala berkirim-kirim surat dan membicarakan banyak hal dengan penuh antusias, termasuk curhat dan komentar terhadap tulisan-tulisan mereka. Begitulah dari waktu ke waktu hingga–entah kapan persisnya–keduanya telah saling mencintai begitu saja. Kadang-kadang memang terjadi pula salah paham (lalu pertengkaran), tapi setelah itu mereka selalu berhasil mengatasinya.

    Tidak hanya Gibran, May pun menulis banyak puisi. Maka, tak mengherankan jika bahasa dalam surat-surat mereka sering kali tersusun indah dan ekspresif. Surat-surat itulah–selain juga karya-karya yang telah mereka publikasikan–modal utama keduanya dalam proses saling mengenal dan mencintai. Gibran terpesona oleh gagasan-gagasan dan jiwa May yang cemerlang. Dan May tersihir oleh kepribadian Gibran yang cerdas dan romantis.

    Mencinta & Membenci

    Bagaimana cara memahami api cinta yang tiba-tiba menyala di hati laki-laki ketika ia melihat perempuan yang padahal tak pernah ia kenal sama sekali sebelumnya? Kenapa cinta bisa semendadak itu? Untuk menjawabnya, setidaknya kita dapat mempertimbangkan dua kemungkinan. Pertama, ia terpengaruh oleh dorongan seksual belaka–kehendak id yang naluriah dan irasional sebagaimana nafsu makan dan kenyamanan. Kedua, ia membangun interpretasi positif tentang gadis itu di kepalanya. Dengan kata lain, ia sebenarnya tidak mencintai si gadis dalam kenyataan; ia mencintai si gadis-indah-interpretatif dalam kepalanya. Pikiran tentang si gadis indah itu ia bangun dari asosiasi-asosiasi yang ia miliki berdasarkan interpretasi yang pernah ia punya sebelumnya–entah itu ia dapat dari pengalaman nyata, cerita faktual, atau cerita fiktif. Misalnya, penampilan si gadis yang syar’i menyeret pikirannya pada asosiasi-asosiasi semacam kesalehan, anak baik-baik, calon bidadari surga, dan sebagainya. Ia mencintai si gadis indah yang tercipta dari sejumlah asosiasi dalam pikirannya itu. Gadis yang tersenyum manis dalam kepalanya.

    Dalam kasus cinta Dante dan Gibran, kita juga dapat berasumsi demikian. Sebagai sastrawan dengan daya pikir dan imajinasi yang luar biasa–selain juga jiwa romantis yang alami–perasaan cinta yang tiba-tiba muncul dan mekar gara-gara interpretasi indah dalam kepala mereka merupakan kondisi jiwa yang dapat dipahami. Sebagaimana terjadi pada banyak orang yang jatuh cinta, Dante dan Gibran pun memuja gadis indah dalam kepala mereka sendiri.

    Pada surat bertanggal 3 November 1920 Gibran menulis kepada May, “Kini aku duduk dalam ruangan ini dan memandang wajahmu lama-lama, tanpa mengucapkan kata sepatah pun. Engkau, dalam pada itu memandangku, menggelengkan kepala, dan tersenyum–senyuman seseorang yang merasa senang melihat temannya dalam kebingungan.”

    Percayalah, Gibran tak pernah bertemu dengan May di mana pun, dan gadis yang “menggelengkan kepala, dan tersenyum” itu hanya ada dalam kepala Gibran saja. Gibran yang mabuk cinta jelas telah hanyut oleh pikirannya tentang May, sebagaimana juga dapat dilihat pada surat yang ia tulis pada 25 Juli 1919, “Berjam-jam lamanya aku memikirkanmu, berbicara denganmu, berusaha menemukan rahasiamu, mencoba menguraikan rahasiamu. Namun demikian, kiranya masih mengherankan bahwa aku masih merasakan kehadiran Diri Pribadimu (rohaniah) di sanggarku, mengamati segala gerak-gerikku, berbicara, dan bertukar pendapat denganku, dan memberikan pandangan terhadap apa yang kulakukan.”

    Pada 21 Mei 1921 Gibran juga menulis, “Tahukah engkau, May, setiap hari aku membayangkan diriku tinggal dalam rumah di luaran sebuah kota negeri Timur, dan kubayangkan wanita sahabatku duduk di depanku sambil membacakan artikelnya yang terbaru atau yang belum terbit, lalu kami berlama-lama membincangkan pokok masalahnya sampai mencapai persesuaian pendapat bahwa itulah tulisannya yang terbaik sampai saat itu.”

    Nah, sebagaimana mencintai, membenci pun begitu. Seseorang membenci sosok yang ada di kepalanya, yang ia bangun dari kepingan-kepingan interpretasi terhadap seseorang (atau sejumlah orang) dalam kenyataan. Kau tahu, seseorang yang bukan siapa-siapa dan tak terlalu dikenal bisa saja tiba-tiba sangat dibenci (bahkan, dibikin mampus!) hanya karena ia berasosiasi dengan suku bangsa tertentu, atau organisasi terlarang tertentu, partai politik tertentu, bajingan tertentu, dan sebagainya. Semuanya berlangsung dalam ranah pikiran. Dengan kata lain, ia dibenci hanya karena seseorang dengan ceroboh menyamakan sosok interpretatif yang dibencinya (dalam kepala) dengan sosok si bukan siapa-siapa yang faktual/an sich (di luar kepala).

    Baik dalam mencintai maupun membenci, masalahnya juga sama: interpretasi tersebut bisa kebetulan (cenderung) tepat, atau ternyata malah melenceng jauh. Syukur-syukur jika interpretasi tersebut (cenderung) tepat. Kalau sesat? Memang kita bisa mendapat keuntungan-keuntungan tertentu kadang, tapi sering kali yang terjadi malah masalah-masalah yang tak perlu. Contoh sepele: pesan chat yang terlalu singkat atau lambat dikirim kadang bisa menimbulkan interpretasi yang buruk dan berujung pada ambyarnya masa depan hubungan cinta yang seharusnya baik-baik saja.

    Masalah semacam itu tidak hanya terjadi karena kesesatan interpretasi seseorang terhadap lingkungannya, tapi juga sering terjadi karena kesesatan interpretasi seseorang terhadap dirinya sendiri. Pikiran bahwa dirinya lebih penting, lebih pintar, lebih suci, lebih ganteng/cantik, lebih terhormat, harus disanjung-sanjung, berderajat tinggi, sering kali menjadi biang masalah dalam sengketa yang serius. Contohnya, tengoklah cewek sok bidadari yang suka merajuk jika ia tidak di-chat duluan, atau tidak disembah-sembah, sehingga lama-lama memicu muak dan sikap bodo amat pada diri pacarnya, dan pada gilirannya menjadikan hubungan mereka tinggal kenangan saja.

    Romantisisme & Imajinasi

    Setelah patah hati dan tak kuasa menahan duka lara yang membakar jiwanya, Werther akhirnya menembakkan pistol ke kepalanya, tepat di atas mata sebelah kanan, tempat semesta pikirannya beroperasi dan kemudian meledak hancur lebur–“sampai otaknya keluar”. Itu semua gara-gara kasih tak sampai Werther kepada Lotte yang telah bertunangan (kemudian menikah) dengan Albert. Kemalangan demikian tak hanya mematahkan hati Werther, tapi juga membuntukan pikirannya–membuat hidupnya tersiksa parah. Karena itu, Werther berkata, “Albert, dalam pikiran itu ada neraka.” (Goethe, 2000: 116)

    Novel Penderitaan Pemuda Werther karya Goethe ini merupakan salah satu manifestasi romantisisme yang merajalela di Eropa pada penghujung abad ke-18 dan paruh pertama abad ke-19. Sebagai suatu paham atau orientasi pemikiran yang berpengaruh besar, romantisisme berciri subjektif, irasional, imajinatif, spontan, emosional, visioner, transendental, dan condong pada alam/kemurnian. Dari sekian banyak ciri umum romantisisme tersebut, salah satunya yang terpenting yaitu imajinatif.

    Meski sama-sama produk pikiran, imajinasi (pikiran bebas) sedikit dibedakan dari logika (pikiran tertib). Imajinasi berkaitan dengan kreativitas–energi untuk berkreasi/mencipta. Ini merupakan anugerah utama yang membedakan manusia dari binatang. Dengan imajinasi, manusia memiliki visi untuk merencanakan sesuatu, membayangkan yang belum terjadi, menduga-duga peristiwa, melakukan abstraksi, membangun fiksi, dan menciptakan inovasi untuk memajukan peradabannya dari waktu ke waktu. Karena binatang tidak memiliki imajinasi, mereka tidak memiliki visi, sehingga mengalami stagnansi kehidupan selamanya.

    Slogan romantisisme adalah–sebagaimana kata Novalis, filsuf dan sastrawan Jerman abad ke-18–“dunia menjadi impian, dan impian menjadi kenyataan”. (Gaarder, 2016: 536) Bagi kaum romantik, imajinasi tidak hanya membantu manusia dalam memahami kenyataan, tapi juga menciptakan kenyataan.

    Karena imajinasi “meliarkan” pikiran manusia, pandangan-pandangan setiap manusia pun jadi cenderung beragam dalam mempersepsi segala hal. Dengan kata lain, imajinasi berperan besar dalam proses terciptanya berbagai interpretasi (terhadap kenyataan) dalam pikiran manusia. Rangkaian interpretasi ini pada gilirannya menjadi basis bagi aktivitas kreatif (baik kesenian maupun teknologi) yang menciptakan suatu dunia baru. Maka, tidak mengherankan jika pada era romantisisme banyak seniman jenius menjadi pahlawan kondang di masyarakat.

    Karena imajinasi dijunjung tinggi dalam romantisisme, perhatian terhadap segala yang gaib dan misterius, seperti roh alam, hantu-hantu, dan rahasia (keheningan) malam menjadi kecenderungan di masyarakat. Tak ketinggalan, semangat spiritual yang merindukan misteri ilahi pun bangkit kembali. Alhasil, mistisisme berkembang. Novalis berpikir bahwa seluruh alam raya tersimpan dalam diri manusia, sehingga ruh dunia dapat dicari baik di alam maupun dalam pikiran manusia. Karena itu, ia pun berkata, “jalan misteri itu mengarah ke dalam batin.” (Gaarder, 2016: 542)

    Gema romantisisme (yang mengandung idealisme dan mistisisme) ini kemudian menyebar hingga jauh ke luar Eropa, melampaui Barat. Di Arab, romantisisme menemukan tokoh pentingnya pada sosok Kahlil Gibran (dan May Ziadah).

    Pikiran & Iman

    Sejauh ini telah kita bahas bahwa pikiran berkorelasi dengan perasaan. Pikiran bisa mempengaruhi cinta, menyulut benci, dan menyuburkan nestapa. Sekarang mari kita mulai menggeser persoalannya ke urusan iman–ranah rasa yang lainnya.

    Kita beriman sesuai pikiran kita. Yang kita imani adalah pikiran kita–lebih tepatnya pikiran kita tentang apa yang belum bisa kita indra/persepsi. Karena belum bisa mengindranya, kita beriman menggunakan imajinasi: sengaja atau tidak, kita membayangkan apa yang belum bisa kita indra itu, lalu membawanya ke dalam hati.

    Dalam iman Kristen, Dante punya pengaruh besar berkat imajinasi religiusnya yang demikian tinggi. Dante memberi gambaran melalui puisinya La Commedia tentang bagaimana situasi di neraka (inferno) yang berisi manusia-manusia yang tanpa harapan, apa yang terjadi di tempat penyucian (purgatorio), dan bagaimana pemandangan surga (paradiso) yang indah dan dipenuhi orang suci beserta para malaikat. Imaji dalam puisi Dante mulanya hanya kata-kata belaka, tapi kemudian mengilhami banyak mahakarya seni lainnya, sehingga lahirlah sejumlah lukisan dan patung yang merupakan interpretasi atas imajinasi Dante tentang akhirat. Dante sendiri konon sedikit-banyak mendapatkan imajinasi tersebut dari interpretasi dan kreasinya terhadap kisah perjalanan Nabi Muhammad Saw. ke neraka dan surga sewaktu peristiwa isra mikraj (Ziolkowski, 2015: 11). Imajinasi ukhrawi inilah yang kemudian banyak mempengaruhi iman Kristen dan kebudayaan Eropa secara umum. “Kau bisa saja belum pernah membaca sebaris pun La Commedia, dan kau telah terpengaruh olehnya,” kata Blauvelt (2018).

    Iman terletak di hati. Kita tahu, hati sangat menentukan baik/buruknya manusia secara total. Dan apa yang biasa kita ketahui tentang hati? Ia sesuatu yang pasif. Kita sering mendengar ungkapan “menjaga hati”, “membersihkan hati”, “menenangkan hati”, dan sebagainya. Hati selalu berposisi sebagai objek. Lalu, apa subjeknya? Pikiran. Pikiranlah yang menjadi/menciptakan tameng dan benteng bagi hati; pikiranlah yang menjadi/menciptakan kain lap dan air bagi hati; pikiranlah yang menjadi/menciptakan kidung dan zikir bagi hati. Dengan demikian, kualitas pikiran mempengaruhi pula kualitas hati (termasuk iman).

    Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman, “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada itu (kumpulan malaikat).” (H.R. Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675)

    Apa yang dimaksud Allah dengan “Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku”? Wallahu ‘alam.

    Yang jelas, sejauh ini kita dapat mengatakan bahwa cara manusia memandang dunia sangat memengaruhi jiwanya–menentukan pula kebahagiaan hidupnya. Di sini kita perlu bertanya: bukankah pikiran buruk–pikiran yang lahir karena berlaku tidak adil sejak dalam pikiran–hanya akan menghancurkan diri kita belaka; menghanguskan jiwa kita dari dalam secara diam-diam? Lagi pula pikiran buruk sering kali datangnya dari (bisikan) setan–jika kita yakin setan itu ada dan diciptakan dari api.

    Maka, sebagai konsekuensinya, menata pikiran itu menjadi sangat penting. Kita mesti berhati-hati terhadap framing, penggiringan opini, dan bias bernalar sebab hidup kita adalah rangkaian interpretasi, dan interpretasi dihasilkan oleh aktivitas berpikir. Jika kita ingin condong pada interpretasi yang benar, maka kita harus condong pula pada aktivitas berpikir yang benar. Pada titik ini, kita perlu melakukan latihan (dan pembiasaan) berpikir benar dalam hidup.

    Sementara itu, untuk berlatih berpikir benar kita perlu pula upaya pengendalian atas pikiran itu sendiri. Dalam agama Buddha terdapat meditasi. Dalam Islam terdapat khalwat dan zikir. Pada umumnya, semua itu mensyaratkan keheningan atau pengasingan diri dan ketidakterikatan atas hal-hal duniawi. Ingar bingar mengacaukan konsentrasi dan kekhusyukan, sementara keterikatan duniawi mendorong manusia untuk berpikir oportunistis.

    Maka, tak mengherankan jika kemudian Siddharta, sang pangeran bangsa Shakya, meninggalkan kemewahan istana untuk bertapa di hutan dan menjalani kehidupan yang asketik–ya, ini memang contoh ekstrem. Setelah bertahun-tahun larut dalam meditasi, Siddharta akhirnya berhasil menjadi Buddha, yang berarti ‘yang tercerahkan’.

    “Aku tak tahu sesuatu yang lain pun, o biksu, yang ketika tak dikembangkan dan tak dilatih mengakibatkan penderitaan dahsyat sebagaimana pikiran. Pikiran ketika tak dikembangkan dan tak dilatih menyebabkan penderitaan dahsyat,” kata Sang Buddha. “Aku tak tahu sesuatu yang lain pun, o biksu, yang ketika dikembangkan dan dilatih membawa kebahagiaan luar biasa sebagaimana pikiran. Pikiran ketika dikembangkan dan dilatih membawa kebahagiaan luar biasa.” (Bodhi, 2005: 267)

    DAFTAR PUSTAKA

    Bodhi, Bhikkhu (Ed.). 2005. In the Buddha’s Words: An Anthology of Discourses from the Pali Canon. Boston: Wisdom Publications.

    Blauvelt, Christian. 2018. Dante and The Divine Commedy: He took us on a tour of hell. Bbc.Com. Diakses dari https://www.bbc.com/culture/article/20180604-dante-and-the-divine-comedy-he-took-us-on-a-tour-of-hell

    Gaarder, Jostein. 2016. Dunia Sophie. Diterjemahkan Rahmani Astuti dari Sophie’s World. Bandung: Mizan

    Gibran, Kahlil. 2016. Surat-Surat Cinta kepada May Ziadah. Diterjemahkan Sugiarta Sriwibawa dari Blue Flame: the Love Letters of Kahlil Gibran to May Ziadah. Jakarta: KPG.

    Goethe, Johann Wolfgang von. 2000. Penderitaan Pemuda Werther. Diterjemahkan Moh. Godjali Harun dari Die Leiden De Jungen Werther. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

    Kurnialam, Alkhaledi. 2020. Tetap Berbaik Sangka kepada Allah di Masa Sulit. Republika.Co.Id. Diakses dari https://www.republika.co.id/berita/qkyy94430/tetap-berbaik-sangka-kepada-allah-di-masa-sulit

    Nietzsche, Friedrich. 1968. The Will to Power. Diterjemahkan Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale dari der Wille zur Macht. New York: Vintage Books.

    Ziolkowski, Jan M..2015. Dante and Islam. New York: Fordham University Press.