Krueng Aceh di teungoh kuta
Kuta Banda Aceh
Ie jih jeureuneh wate tapandang
Teurasa sijuek sampoe u dalam hate
Watee jameun keurajeun
Krueng nyan jeut keu lalu lintas pelayaran
Sampoe jinoe Krueng Aceh le fungsi
Krueng Aceh pih jeut keu teumpat wisata
Jeut tajak duek-duek di bineh krueng
Di bineh krueng le teumpat duek
Sira tawet-wet u Banda Aceh
Jeut tapiyoh di sinan
Bak Kaye pih le
Angen jipoet leupie tarasa
Mangat pikiran gadoh suntok
Meunjak ibadah na meseujid toe di sinan
Tajak ibadah pujoe Allah Azza wa Jalla
Meuseujid Baiturrahman jeut tajak lajue
Krueng Aceh kebanggaan geutanyoe
Sama tajaga sama tahiroe
Terjemahan
Krueng Aceh di tengah kota
Kota Banda Aceh
Airnya jernih sewaktu kita pandang
Terasa sejuk hingga ke dalam hati
Waktu zaman kerajaan
Sungai itu menjadi lalu lintas pelayaran
Sampai sekarang Krueng Aceh memiliki banyak fungsi
Krueng Aceh pun menjadi tempat wisata
Kita dapat duduk-duduk di tepi sungai
Di tepi sungai banyak tempat duduk
Sambil berjalan-jalan di Banda Aceh
Kita dapat berhenti di situ
Pohon pun banyak di sekitarnya
Angin berhembus menyejukkan
Tenang pikiran hilang suntuk
Hendak beribadah ada masjid terdekat
Beribadah memuji Allah Azza wa Jalla
Masjid Baiturrahman dapat segera kita jangkau
Krueng Aceh kebanggaan kita
Sama kita jaga sama kita peduli
Nurhaida
Banda Aceh, Jumat, 5 Februari 2021
Category: Sastra
-
KRUENG ACEH
-
Pantun Rujak
Meugoe umong pakek bajak
U peukan lon meunjak
Tapiyoh siat ‘oh lheuh tajak
Leupah that mangat tapajoh rujak
Terjemahan
Membajak sawah menggunakan bajak
Ke pasar saya hendak pergi
Berhenti sejenak setelah bepergian
Sangatlah enak makan rujak
Nurhaida
Banda Aceh, Rabu, 3 Februari 2021 -
Mi Aceh
Mi aceh mangat silagoina
Sigala bumbu meusahoe di sinan
Watee tapajoh teulom-lom
Rasa mangat sampoe u ujong lidah
Di Aceh na cit mi caluek
Mi nyan pih mangat bukon le
Di ateuh mi pakek bumbu
Na nyang pakek bumbu kacang
Na nyang pakek bumbu rendang
Na nyang tamah pecai
Na nyang tamah urap
Mi pih na meumacam
Mi caluek na nyang pakek mi lidi
Mi nyan lagee sphageti
Na cit nyang pakek mi kuneng
Na nyang pakek mihun
Jeut talake boh simacam
Jeut cit talake boh jampue-jampue
Jeut ta pesan sesuai selera geutanyoe
Nyang hawa meunjak pajoh sila neujak bloe lajue
Rata sagoe na dimeukat mi aceh
Terjemahan
Mi aceh sangat enak
Segala bumbu ada
Waktu kita makan ingin lagi
Rasanya enak terasa hingga di ujung lidah
Di Aceh juga ada mi caluek
Mi itu pun enak sekali
Di atas mi ada bumbu
Ada yang menggunakan bumbu kacang
Ada yang menggunakan bumbu rendang
Ada yang ditambahkan pecal
Ada yang ditambahkan urap
Mi yang digunakan pun ada bermacam-macam
Mi caluek ada yang menggunakan mi lidi
Mi itu seperti spageti
Ada juga yang menggunakan mi kuning
Ada juga menggunakan bihun
Dapat kita minta satu macam saja
Dapat juga kita minta dicampur
Dapat kita pesan sesuai selera kita
Untuk yang ingin memakannya dapat segera membelinya
Di semua tempat ada penjual mi aceh
Nurhaida, Banda Aceh, Januari 2021 -
UJEUN
Ujeuen jitroen meugram grum u ateuh bumoe
Ka meusapat ie di dalam lueng-lueng
Cangguk-cangguk ka seunang hate bukon le
Jimeusue meuseot-seuseot
Jimeutasbih pujoe Rabbana
Ujeun nikmat dari Allah
Na ujeun na ie
Ie pereule untuk hudep geutanyoe
Na ie untuk peumula padee
Na ie untuk siram tanaman
Na ie untuk tajeb
Na ie untuk tamanoe
Na ie untuk tamaguen
Asai hana meuleubeh ie le that manfaat
Meunyoe kameulimpah jeut keu ie raya
Peulom meunyoe bak kayee maken meukureung
Bumoe get tajaga
Hudep geutanyoe seunang
Hase geubie le Allah dari jeub sagoe
Hase dari blang
Hase dari lampoh
Hase dari uteuen
Hase dari laot
Nikmat meuron-ron geupeutron le Allah
Syuko keu Allah rahman rahim
Terjemahan
HUJAN
Hujan turun bertalu-talu di atas bumi
Berkumpul air di dalam parit-parit
Kodok-kodok begitu senang hati
Bersuara bersahut-sahutan
Mereka bertasbih memuji Rabbana
Hujan nikmat dari Allah
Ada hujan ada air
Air perlu untuk hidup kita
Ada air untuk menanam padi
Ada air untuk menyiram tanaman
Ada air untuk kita minum
Ada air untuk kita mandi
Ada air untuk kita memasak
Asal tidak berlebihan air sangat banyak manfaat
Kalau berlimpah menjadi banjir
Apalagi jika pohon semakin berkurang
Bumi kita jaga dengan baik
Hidup kita senang
Hasil diberikan oleh Allah dari segenap penjuru
Hasil dari sawah
Hasil dari kebun
Hasil dari hutan
Hasil dari laut
Nikmat begitu banyak diturunkan oleh Allah
Bersyukur kepada Allah Maha Pengasih Maha Penyayang
Nurhaida
Balai Bahasa Provinsi Aceh, Januari 2021 -
KOLAM IKAN DI SAMPING RUANG KERJAKU
Di luar
Bersisian dengan ruang kerjaku
Ada kolam ikan
Kolam itu penuh dengan ikan nila dan ikan lele
Mereka berenang riang gembira
Setiap kali melihat mereka
Hatiku pun ikut gembiraKala jenuh
Ketika menjentikkan jari-jariku di papan tombol komputer
Aku berhenti sejenak
Aku melihat mereka dari balik kaca jendela
Aku memandangi gerak-gerak mereka yang lincahKetika panen ikan tiba
Ikan-ikan itu dimasak
Tapi maaf aku tak dapat ikut memakannya
Karena aku sayang merekaNurhaida
Balai Bahasa Aceh -
Kontroversi Penghargaan Sastra
Apalah arti karya seni tanpa apresiasi? Begitu juga karya sastra. Sebagai hasil proses kreatif yang lahir untuk menunjukkan “sesuatu”–baik dari segi tampilan maupun dari segi isi–karya sastra adalah media komunikasi penulis dengan pembaca.
Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, Prof. A. Teeuw, mengungkapkan bahwa karya sastra baru memiliki makna setelah melalui proses pembacaan. Makna yang diberikan pembaca kemudian menjadi nilai. Nilai kemudian menjadi citra, dan citra otomatis mendatangkan respon.
Jika negatif, karya bersangkutan akan ditinggalkan (dan terlupakan perlahan-lahan). Sebaliknya, jika positif, karya bersangkutan akan memperoleh penghargaan sebagai bentuk “perekomendasian” (sehingga dibaca banyak orang dari waktu ke waktu).
Proses penilian penghargaan sastrawan melibatkan keseluruhan penghargaan yang dicapai karya-karya yang pernah ditulisnya. Secara umum, bisa juga diartikan sebagai penghargaan bagi usaha sungguh-sungguhnya dalam dunia tulis-menulis.
Jika seorang sastrawan telah dianugerahi suatu penghargaan, berarti bisa dikatakan bahwa apa saja karya yang pernah diciptakannya dianjurkan bagi siapa saja yang berminat membaca karya sastra. Begitulah upaya sejumlah lembaga yang bergiat di bidang literasi–untuk menyaring pilihan-pilihan yang terbaik.
Namun, penghargaan terhadap sastrawan pada kenyataannya tak jarang pula menuai kontroversi yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: apa makna penghargaan sastra yang sesungguhnya?
Ada kalanya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi tak puas dari sejumlah pihak karena sastrawan yang menerimanya dinilai tidak layak. Pada 1995, tersiar kabar bahwa Yayasan Ramon Magsaysay akan menganugerahi Hadiah Magsaysay (kategori sastra) kepada Pramoedya Ananta Toer. Sontak sejumlah reaksi berdatangan dari sejumlah sastrawan Indonesia.
Tercatat, setidaknya ada 26 nama yang menjadi penanda tangan sebuah surat guna merespon negatif keputusan Yasasan Ramon Magsaysay tersebut. Beberapa di antaranya: H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Taufiq Ismail, dan W.S. Rendra. Ya, pemberian Hadiah Magsaysay pada Pramoedya dinilai mengganggu nama baik almarhum Presiden Ramon Magsaysay sebab penulis Tetralogi Buru tersebut sebelumnya dianggap bertanggung jawab atas penindasan terhadap kebebasan berekspresi pada masa kejayaan Lekra.
Sebagaimana komentar sastrawan kawakan Filipina, Frankie Sionil Jose, “Seandainya Ramon Magsaysay masih hidup hari ini, saya yakin dia akan mengutuk Yayasan yang membawa-bawa namanya untuk memberikan hadiah 1995 kepada Pramoedya Ananta Toer.”
Reaksi yang lebih radikal muncul dari Mochtar Lubis, selaku peraih hadiah yang sama pada 1958. Terang saja bahwa penganugerahan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya membuatnya begitu kecewa. Bahkan, penulis kelahiran Padang tersebut kemudian sempat menyatakan bahwa dia akan mengembalikan Hadiah Magsaysay miliknya jika Pramoedya tetap diberikan penghargaan yang sangat bergengsi di kawasan Asia itu.
Kasus yang lebih heboh kemudian terjadi di Inggris Raya pada 2007. Saat itu Ratu Elizabeth II menganugerahkan gelar kebangsawanan Inggris kepada penulis kontroversial Salman Rushdie atas sejumlah karya tulis yang telah dihasilkannya selama bertahun-tahun.
Berita tersebut tentu saja segera menyulut konflik diplomatik antara negara-negara (berpenduduk mayoritas pemeluk) Islam dan Kerajaan Inggris. Bagaimana tidak, Salman Rushdie yang menerbitkan buku The Satanic Verses pada 1988 dianggap telah menghina agama Islam dan menjadi musuh Islam yang segera dijatuhi fatwa hukuman mati oleh Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Khomeini, sehingga pemberian penghargaan kepadanya sama saja menghina umat Islam.
Jika sebelumnya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi keras dari pihak pengamat (yang merasa tidak puas), selanjutnya ada pula penghargaan terhadap sastrawan yang mendapat reaksi tegas dari pihak penerimanya sendiri.
Pada 1926, Sinclair Lewis menolak Hadiah Pulitzer untuk novelnya Arrowsmith. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling prestisius dalam dunia tulis-menulis di Amerika Serikat. Lewis yang dikenal kritis terhadap negara Paman Sam menyatakan, “Setiap paksaan diletakkan kepada penulis agar dia menjadi penulis yang aman, sopan, patuh, dan steril. Sebagai bentuk protes, saya menolak pemilihan Institut Nasional Seni dan Sastra beberapa tahun yang lalu, dan sekarang saya harus menolak Hadiah Pulitzer.” Karena alasan idealisme, Lewis menolak untuk “dijinakkan”.
Sikap yang mirip juga dilakukan Jean-Paul Sartre pada 1964. Saat itu penulis asal Prancis tersebut membuat gaduh seantero dunia lewat sikapnya menolak penghargaan (kategori sastra) paling bergengsi di planet bumi, yaitu Nobel! Saat itu, fenomena tersebut merupakan yang pertama sepanjang sejarah penghargaan Nobel.
Ketika sejumlah orang heran dan sebagian orang menilai sikap Sartre sebagai arogan, filsuf eksistensialisme tersebut dengan tegas menyatakan, “… seorang penulis sejati harus menolak sesuatu yang bisa membuatnya berubah menjadi sosok yang mendukung suatu institusi.” Karena idealisme yang dipegangnya dengan teguh, Sartre benar-benar ingin netral dalam berekspresi. Dia tak ingin mengemukakan gagasannya sebagai bagian dari pihak tertentu.
Masih mengenai kontroversi Hadiah Nobel, pernyataan yang bersahaja (tapi tak kalah dahsyat) juga pernah diungkapkan penulis masyhur Rusia, Leo Tolstoy, ketika menanggapi kenapa Hadiah Nobel tak diberikan kepadanya pada 1901. Tolstoy berkata, “Saya sangat senang mengetahui bahwa Hadiah Nobel tidak dianugerahkan kepada saya. Ini menghilangkan masalah besar bagi saya perihal bagaimana menggunakan uang itu. Saya yakin bahwa uang itu hanya membawa kejahatan.”
Ya, penghargaan sastra bukanlah satu-satunya alat pelegitimasi kehebatan seorang sastrawan. Tolstoy akan tetap dinilai sebagai penulis besar meski dia tak pernah mendapat Hadiah Nobel. Selama karya-karyanya memiliki pembaca, siapa saja akan tahu bahwa Tolstoy adalah penulis hebat. Begitu juga Sartre. Dia “tak perlu” dianugerahi satu pun penghargaan untuk mendapat pengakuan sebagai penulis hebat. Siapa saja yang membaca karya-karyanya tahu bahwa dia penulis hebat. Bahkan, mungkin teramat hebat karena dia juga benar-benar memiliki idealisme luar biasa, sehingga nekat menolak Hadiah Nobel!
Ya, bukankah penghargaan sejati bagi seorang sastrawan sederhana saja, yaitu saat karya(-karya)nya bisa bermanfaat bagi (para) pembaca? Dan bukankah dewan juri yang sesungguhnya adalah para pembaca yang senantiasa dilahirkan sang waktu entah sampai kapan?
Artikel ini terbit dengan revisi minor dari aslinya yang telah terbit di Padang Ekspres, 24 September 2017