Category: Sastra

  • KRUENG ACEH

    KRUENG ACEH

    Krueng Aceh di teungoh kuta
    Kuta Banda Aceh
    Ie jih jeureuneh wate tapandang
    Teurasa sijuek sampoe u dalam hate
    Watee jameun keurajeun
    Krueng nyan jeut keu lalu lintas pelayaran
    Sampoe jinoe Krueng Aceh le fungsi
    Krueng Aceh pih jeut keu teumpat wisata
    Jeut tajak duek-duek di bineh krueng
    Di bineh krueng le teumpat duek
    Sira tawet-wet u Banda Aceh
    Jeut tapiyoh di sinan
    Bak Kaye pih le
    Angen jipoet leupie tarasa
    Mangat pikiran gadoh suntok
    Meunjak ibadah na meseujid toe di sinan
    Tajak ibadah pujoe Allah Azza wa Jalla
    Meuseujid Baiturrahman jeut tajak lajue
    Krueng Aceh kebanggaan geutanyoe
    Sama tajaga sama tahiroe

    Terjemahan
    Krueng Aceh di tengah kota
    Kota Banda Aceh
    Airnya jernih sewaktu kita pandang
    Terasa sejuk hingga ke dalam hati
    Waktu zaman kerajaan
    Sungai itu menjadi lalu lintas pelayaran
    Sampai sekarang Krueng Aceh memiliki banyak fungsi
    Krueng Aceh pun menjadi tempat wisata
    Kita dapat duduk-duduk di tepi sungai
    Di tepi sungai banyak tempat duduk
    Sambil berjalan-jalan di Banda Aceh
    Kita dapat berhenti di situ
    Pohon pun banyak di sekitarnya
    Angin berhembus menyejukkan
    Tenang pikiran hilang suntuk
    Hendak beribadah ada masjid terdekat
    Beribadah memuji Allah Azza wa Jalla
    Masjid Baiturrahman dapat segera kita jangkau
    Krueng Aceh kebanggaan kita
    Sama kita jaga sama kita peduli

    Nurhaida
    Banda Aceh, Jumat, 5 Februari 2021

  • Pantun Rujak

    Pantun Rujak

    Meugoe umong pakek bajak
    U peukan lon meunjak
    Tapiyoh siat ‘oh lheuh tajak
    Leupah that mangat tapajoh rujak

    Terjemahan
    Membajak sawah menggunakan bajak
    Ke pasar saya hendak pergi
    Berhenti sejenak setelah bepergian
    Sangatlah enak makan rujak

    Nurhaida
    Banda Aceh, Rabu, 3 Februari 2021

  • Mi Aceh

    Mi Aceh

    Mi aceh mangat silagoina
    Sigala bumbu meusahoe di sinan
    Watee tapajoh teulom-lom
    Rasa mangat sampoe u ujong lidah
    Di Aceh na cit mi caluek
    Mi nyan pih mangat bukon le
    Di ateuh mi pakek bumbu
    Na nyang pakek bumbu kacang
    Na nyang pakek bumbu rendang
    Na nyang tamah pecai
    Na nyang tamah urap
    Mi pih na meumacam
    Mi caluek na nyang pakek mi lidi
    Mi nyan lagee sphageti
    Na cit nyang pakek mi kuneng
    Na nyang pakek mihun
    Jeut talake boh simacam
    Jeut cit talake boh jampue-jampue
    Jeut ta pesan sesuai selera geutanyoe
    Nyang hawa meunjak pajoh sila neujak bloe lajue
    Rata sagoe na dimeukat mi aceh

    Terjemahan

    Mi aceh sangat enak
    Segala bumbu ada
    Waktu kita makan ingin lagi
    Rasanya enak terasa hingga di ujung lidah
    Di Aceh juga ada mi caluek
    Mi itu pun enak sekali
    Di atas mi ada bumbu
    Ada yang menggunakan bumbu kacang
    Ada yang menggunakan bumbu rendang
    Ada yang ditambahkan pecal
    Ada yang ditambahkan urap
    Mi yang digunakan pun ada bermacam-macam
    Mi caluek ada yang menggunakan mi lidi
    Mi itu seperti spageti
    Ada juga yang menggunakan mi kuning
    Ada juga menggunakan bihun
    Dapat kita minta satu macam saja
    Dapat juga kita minta dicampur
    Dapat kita pesan sesuai selera kita
    Untuk yang ingin memakannya dapat segera membelinya
    Di semua tempat ada penjual mi aceh

    Nurhaida, Banda Aceh, Januari 2021

  • UJEUN

    UJEUN

    Ujeuen jitroen meugram grum u ateuh bumoe
    Ka meusapat ie di dalam lueng-lueng
    Cangguk-cangguk ka seunang hate bukon le
    Jimeusue meuseot-seuseot
    Jimeutasbih pujoe Rabbana
    Ujeun nikmat dari Allah
    Na ujeun na ie
    Ie pereule untuk hudep geutanyoe
    Na ie untuk peumula padee
    Na ie untuk siram tanaman
    Na ie untuk tajeb
    Na ie untuk tamanoe
    Na ie untuk tamaguen
    Asai hana meuleubeh ie le that manfaat
    Meunyoe kameulimpah jeut keu ie raya
    Peulom meunyoe bak kayee maken meukureung
    Bumoe get tajaga
    Hudep geutanyoe seunang
    Hase geubie le Allah dari jeub sagoe
    Hase dari blang
    Hase dari lampoh
    Hase dari uteuen
    Hase dari laot
    Nikmat meuron-ron geupeutron le Allah
    Syuko keu Allah rahman rahim

    Terjemahan
    HUJAN
    Hujan turun bertalu-talu di atas bumi
    Berkumpul air di dalam parit-parit
    Kodok-kodok begitu senang hati
    Bersuara bersahut-sahutan
    Mereka bertasbih memuji Rabbana
    Hujan nikmat dari Allah
    Ada hujan ada air
    Air perlu untuk hidup kita
    Ada air untuk menanam padi
    Ada air untuk menyiram tanaman
    Ada air untuk kita minum
    Ada air untuk kita mandi
    Ada air untuk kita memasak
    Asal tidak berlebihan air sangat banyak manfaat
    Kalau berlimpah menjadi banjir
    Apalagi jika pohon semakin berkurang
    Bumi kita jaga dengan baik
    Hidup kita senang
    Hasil diberikan oleh Allah dari segenap penjuru
    Hasil dari sawah
    Hasil dari kebun
    Hasil dari hutan
    Hasil dari laut
    Nikmat begitu banyak diturunkan oleh Allah
    Bersyukur kepada Allah Maha Pengasih Maha Penyayang

    Nurhaida
    Balai Bahasa Provinsi Aceh, Januari 2021


  • KOLAM IKAN DI SAMPING RUANG KERJAKU

    KOLAM IKAN DI SAMPING RUANG KERJAKU

    Di luar
    Bersisian dengan ruang kerjaku
    Ada kolam ikan
    Kolam itu penuh dengan ikan nila dan ikan lele
    Mereka berenang riang gembira
    Setiap kali melihat mereka
    Hatiku pun ikut gembira

    Kala jenuh
    Ketika menjentikkan jari-jariku di papan tombol komputer
    Aku berhenti sejenak
    Aku melihat mereka dari balik kaca jendela
    Aku memandangi gerak-gerak mereka yang lincah

    Ketika panen ikan tiba
    Ikan-ikan itu dimasak
    Tapi maaf aku tak dapat ikut memakannya
    Karena aku sayang mereka

    Nurhaida
    Balai Bahasa Aceh

  • Kontroversi Penghargaan Sastra

    Kontroversi Penghargaan Sastra

    Apalah arti karya seni tanpa apresiasi? Begitu juga karya sastra. Sebagai hasil proses kreatif yang lahir untuk menunjukkan “sesuatu”–baik dari segi tampilan maupun dari segi isi–karya sastra adalah media komunikasi penulis dengan pembaca.

    Kritikus sastra Indonesia asal Belanda, Prof. A. Teeuw, mengungkapkan bahwa karya sastra baru memiliki makna setelah melalui proses pembacaan. Makna yang diberikan pembaca kemudian menjadi nilai. Nilai kemudian menjadi citra, dan citra otomatis mendatangkan respon.

    Jika negatif, karya bersangkutan akan ditinggalkan (dan terlupakan perlahan-lahan). Sebaliknya, jika positif, karya bersangkutan akan memperoleh penghargaan sebagai bentuk “perekomendasian” (sehingga dibaca banyak orang dari waktu ke waktu).

    Proses penilian penghargaan sastrawan melibatkan keseluruhan penghargaan yang dicapai karya-karya yang pernah ditulisnya. Secara umum, bisa juga diartikan sebagai penghargaan bagi usaha sungguh-sungguhnya dalam dunia tulis-menulis.

    Jika seorang sastrawan telah dianugerahi suatu penghargaan, berarti bisa dikatakan bahwa apa saja karya yang pernah diciptakannya dianjurkan bagi siapa saja yang berminat membaca karya sastra. Begitulah upaya sejumlah lembaga yang bergiat di bidang literasi–untuk menyaring pilihan-pilihan yang terbaik.

    Namun, penghargaan terhadap sastrawan pada kenyataannya tak jarang pula menuai kontroversi yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan: apa makna penghargaan sastra yang sesungguhnya?

    Ada kalanya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi tak puas dari sejumlah pihak karena sastrawan yang menerimanya dinilai tidak layak. Pada 1995, tersiar kabar bahwa Yayasan Ramon Magsaysay akan menganugerahi Hadiah Magsaysay (kategori sastra) kepada Pramoedya Ananta Toer. Sontak sejumlah reaksi berdatangan dari sejumlah sastrawan Indonesia.

    Tercatat, setidaknya ada 26 nama yang menjadi penanda tangan sebuah surat guna merespon negatif keputusan Yasasan Ramon Magsaysay tersebut. Beberapa di antaranya: H.B. Jassin, Mochtar Lubis, Asrul Sani, Taufiq Ismail, dan W.S. Rendra. Ya, pemberian Hadiah Magsaysay pada Pramoedya dinilai mengganggu nama baik almarhum Presiden Ramon Magsaysay sebab penulis Tetralogi Buru tersebut sebelumnya dianggap bertanggung jawab atas penindasan terhadap kebebasan berekspresi pada masa kejayaan Lekra.

    Sebagaimana komentar sastrawan kawakan Filipina, Frankie Sionil Jose, “Seandainya Ramon Magsaysay masih hidup hari ini, saya yakin dia akan mengutuk Yayasan yang membawa-bawa namanya untuk memberikan hadiah 1995 kepada Pramoedya Ananta Toer.”

    Reaksi yang lebih radikal muncul dari Mochtar Lubis, selaku peraih hadiah yang sama pada 1958. Terang saja bahwa penganugerahan Hadiah Magsaysay kepada Pramoedya membuatnya begitu kecewa. Bahkan, penulis kelahiran Padang tersebut kemudian sempat menyatakan bahwa dia akan mengembalikan Hadiah Magsaysay miliknya jika Pramoedya tetap diberikan penghargaan yang sangat bergengsi di kawasan Asia itu.

    Kasus yang lebih heboh kemudian terjadi di Inggris Raya pada 2007. Saat itu Ratu Elizabeth II menganugerahkan gelar kebangsawanan Inggris kepada penulis kontroversial Salman Rushdie atas sejumlah karya tulis yang telah dihasilkannya selama bertahun-tahun.

    Berita tersebut tentu saja segera menyulut konflik diplomatik antara negara-negara (berpenduduk mayoritas pemeluk) Islam dan Kerajaan Inggris. Bagaimana tidak, Salman Rushdie yang menerbitkan buku The Satanic Verses pada 1988 dianggap telah menghina agama Islam dan menjadi musuh Islam yang segera dijatuhi fatwa hukuman mati oleh Pemimpin Agung Iran, Ayatollah Khomeini, sehingga pemberian penghargaan kepadanya sama saja menghina umat Islam.

    Jika sebelumnya penghargaan terhadap sastrawan mendapat reaksi keras dari pihak pengamat (yang merasa tidak puas), selanjutnya ada pula penghargaan terhadap sastrawan yang mendapat reaksi tegas dari pihak penerimanya sendiri.

    Pada 1926, Sinclair Lewis menolak Hadiah Pulitzer untuk novelnya Arrowsmith. Hadiah Pulitzer merupakan penghargaan paling prestisius dalam dunia tulis-menulis di Amerika Serikat. Lewis yang dikenal kritis terhadap negara Paman Sam menyatakan, “Setiap paksaan diletakkan kepada penulis agar dia menjadi penulis yang aman, sopan, patuh, dan steril. Sebagai bentuk protes, saya menolak pemilihan Institut Nasional Seni dan Sastra beberapa tahun yang lalu, dan sekarang saya harus menolak Hadiah Pulitzer.” Karena alasan idealisme, Lewis menolak untuk “dijinakkan”.

    Sikap yang mirip juga dilakukan Jean-Paul Sartre pada 1964. Saat itu penulis asal Prancis tersebut membuat gaduh seantero dunia lewat sikapnya menolak penghargaan (kategori sastra) paling bergengsi di planet bumi, yaitu Nobel! Saat itu, fenomena tersebut merupakan yang pertama sepanjang sejarah penghargaan Nobel.

    Ketika sejumlah orang heran dan sebagian orang menilai sikap Sartre sebagai arogan, filsuf eksistensialisme tersebut dengan tegas menyatakan, “… seorang penulis sejati harus menolak sesuatu yang bisa membuatnya berubah menjadi sosok yang mendukung suatu institusi.” Karena idealisme yang dipegangnya dengan teguh, Sartre benar-benar ingin netral dalam berekspresi. Dia tak ingin mengemukakan gagasannya sebagai bagian dari pihak tertentu.

    Masih mengenai kontroversi Hadiah Nobel, pernyataan yang bersahaja (tapi tak kalah dahsyat) juga pernah diungkapkan penulis masyhur Rusia, Leo Tolstoy, ketika menanggapi kenapa Hadiah Nobel tak diberikan kepadanya pada 1901. Tolstoy berkata, “Saya sangat senang mengetahui bahwa Hadiah Nobel tidak dianugerahkan kepada saya. Ini menghilangkan masalah besar bagi saya perihal bagaimana menggunakan uang itu. Saya yakin bahwa uang itu hanya membawa kejahatan.”

    Ya, penghargaan sastra bukanlah satu-satunya alat pelegitimasi kehebatan seorang sastrawan. Tolstoy akan tetap dinilai sebagai penulis besar meski dia tak pernah mendapat Hadiah Nobel. Selama karya-karyanya memiliki pembaca, siapa saja akan tahu bahwa Tolstoy adalah penulis hebat. Begitu juga Sartre. Dia “tak perlu” dianugerahi satu pun penghargaan untuk mendapat pengakuan sebagai penulis hebat. Siapa saja yang membaca karya-karyanya tahu bahwa dia penulis hebat. Bahkan, mungkin teramat hebat karena dia juga benar-benar memiliki idealisme luar biasa, sehingga nekat menolak Hadiah Nobel!

    Ya, bukankah penghargaan sejati bagi seorang sastrawan sederhana saja, yaitu saat karya(-karya)nya bisa bermanfaat bagi (para) pembaca? Dan bukankah dewan juri yang sesungguhnya adalah para pembaca yang senantiasa dilahirkan sang waktu entah sampai kapan?

    Artikel ini terbit dengan revisi minor dari aslinya yang telah terbit di Padang Ekspres, 24 September 2017